Powered By Blogger

Sabtu, 06 Februari 2010

Antara Dialektika Negara dan Kebudayaan

”Kebudayaan bukan semata-mata warisan (Heritage) yang sah dari suatu masyarakat, karena Kebudayaan adalah seni hidup itu sendiri (the art of living)” -Gus Dur-

Tengara Gus Dur ini, serasa mengingatkan kembali betapa vitalnya isu kebudayaan ditengah berkecambuknya krisis pemikiran yang melanda kehidupan berbangsa dewasa ini. Ucapan Gus Dur ini dikemukakan kala menyinggung peran Negara terhadap keberlangsungan budaya bangsa. Memang terlihat tiada yang salah dari langkah yang ditempuh negara sebagai institusi tertinggi guna menentukan keputusan-keputusan operasional terkait kehidupan berbudaya bangsa ini. Namun, dari titik ini Gus Dur melihat pertentangan yang cukup memprihatinkan. Pada dasarnya kebudayaan merupakan kehidupan sosial bermasyarakat yang tumbuh dari saling adanya interaksi antar komponen dan elemen yang ada, meskipun demikian, kebudayaan bukan suatu harta untuk diwariskan (heritage) kepada generasi selanjutnya, karena warisan pada hakekatnya mengacu kepada suatu benda mati, sedangkan kebudayaan hanya menjadi kebudayaan kalau ia hidup dan mengacu kepada kehidupan.
Karena itu, mendengar adanya peran signifikan Negara dalam mensponsori keberlangsungan kebudayaan negeri ini. Penulis pun merasa ada kecacatan akan hal ini, kebudayaan sepatutnya dan selayaknya tidak menjadi political gimmick suatu badan depertemen pemerintahan tertentu, padahal kebudayaan tidak bisa ditafsirkan sepihak untuk semata-mata memberikan tekanan pada kesenian, kesusastraan, bahasa, dan apa saja yang memihak estetika sebagai estika belaka.
Karena pada hakekatnya Kesenian dan karya sastra sebagai karya estetika demi membersihkan nurani suatu masyarakat (katarsis sosial dan politik) dan menjadi wahana mengakomodasi perubahan kultural adalah bagian dari kultur. Demikian pula halnya dengan bahasa, sebagai alat berfikir adalah bagian dari kultur, tetapi, bahasa yang dilihat hanya sekedar sebagai technically yang memberikan peluang bagi penentu ”policy bahasa” adalah proses birokratisasi alat berfikir. Proses bahasa yang demikian adalah akultural.
Kemudian dimana letak kekhawtiran Gus Dur terhadap peran Negara menyangkut kehidupan berbudaya. Jikalau kita mau memandang hal ini secara tajam dan telaah kajian komprehensif-integratif maka dapat tergambarkan bahwa birokratisasi cenderung menyeragamkan derap kehidupan masyarakat, dan ini indikator adanya kecenderungan untuk mengubah kebudayaan dari emansipasi suatu bangsa kepada pembekuan daya cipta bangsa itu sendiri yang sedang berada ditengah perubahan besar-besaran secara sosial dan ekonomi. Sejauh yang menyangkut kehidupan bernegara (statecraft) seluruh kehidupan sebenarnya sudah dikuasai oleh negara sepenuhnya.
Di dalam cara melihat yang membedakan atau mempertentangkan antara negara dan masyarakat, maka kultur adalah sepenuhnya menjadi tanggungjawaab suatu masyarakat dan selayaknya tidak menjadi wewenang negara sebagaimana saat ini, kebudayaan diletakkan dipundak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Cara memandang seperti ini tidak bisa tidak harus dianut, karena adanya perbedaan mendasar dalam daya perekat masyarakat dan negara. Masyarakat mengambil kultur sebagai daya perekatnya sedangkan negara mengambil kekuasaan sebagai daya perekatnya dan dengan kekuasaan pula negara mengikat berbagai bidang lainnya.
Dalam hubungan ini kebudayaan terlalu besar, terlalu penting, dan terlalu hakiki untuk dipikul beban tanggungjawab kepada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata semata. Kultur seharusnya menjadi tugas utama masyarakat untuk memperkuat sendi dan pilar tatanan kehidupan masyarakat tersebut. jika hal ini teracuhkan dalam kesadaran berbudaya bangsa ini, maka gaung pencerahan (enlightement) terasa bak fatamorgana ditengah gersangnya pemikiran budaya bangsa ini dan proses stultifikasi (proses pembekuaan) pun menggurita nan merajalela, dimana manusia Indonesia tidak dididik untuk pemenuhan kepribadiaanya, namun dididik menjadi robot-robot yang a-kultural, terkikis dari dasar-dasar untuk menjadi pribadi yang berkultural. Pada akhirnya hanya akan menghasilkan ”kebudayaan semu” yang tidak bakal langgeng.