Powered By Blogger

Kamis, 31 Desember 2009

dasar jurnalistik

Pengertian Jurnalistik

Pengertian istilah jurnalistik dapat ditinjau dari tiga sudut pandang: harfiyah, konseptual, dan praktis.

Secara harfiyah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Asal-muasalnya dari bahasa Yunani kuno, “du jour” yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak.

Secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu.

1. Sebagai proses, jurnalistik adalah “aktivitas” mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).

2. Sebagai teknik, jurnalistik adalah “keahlian” (expertise) atau “keterampilan” (skill) menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.

3. Sebagai ilmu, jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebaga ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.

Secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita (news processing) dan penyebarluasannya melalui media massa. Dari pengertian kedua ini, kita dapat melihat adanya empat komponen dalam dunia jurnalistik: informasi, penyusunan informasi, penyebarluasan informasi, dan media massa.

Informasi : News & Views

Informasi adalah pesan, ide, laporan, keterangan, atau pemikiran. Dalam dunia jurnalistik, informasi dimaksud adalah news (berita) dan views (opini).

Berita adalah laporan peristiwa yang bernilai jurnalistik atau memiliki nilai berita (news values) –aktual, faktual, penting, dan menarik. Berita disebut juga “informasi terbaru”. Jenis-jenis berita a.l. berita langsung (straight news), berita opini (opinion news), berita investigasi (investigative news), dan sebagainya.

Views adalah pandangan atau pendapat mengenai suatu masalah atau peristiwa. Jenis informasi ini a.l. kolom, tajukrencana, artikel, surat pembaca, karikatur, pojok, dan esai.

Ada juga tulisan yang tidak termasuk berita juga tidak bisa disebut opini, yakni feature, yang merupakan perpaduan antara news dan views. Jenis feature yang paling populer adalah feature tips (how to do it feature), feature biografi, feature catatan perjalanan/petualangan, dan feature human interest.

Penyusunan Informasi

Informasi yang disajikan sebuah media massa tentu harus dibuat atau disusun dulu. Yang bertugas menyusun informasi adalah bagian redaksi (Editorial Department), yakni para wartawan, mulai dari Pemimpin Redaksi, Redaktur Pelaksana, Redaktur Desk, Reporter, Fotografer, Koresponden, hingga Kontributor.

Pemred hingga Koresponden disebut wartawan. Menurut UU No. 40/1999, wartawan adalah “orang yang melakukan aktivitas jurnalistik secara rutin”. Untuk menjadi wartawan, seseorang harus memenuhi kualifikasi berikut ini:

1. Menguasai teknik jurnalistik, yaitu skill meliput dan menulis berita, feature, dan tulisan opini.

2. Menguasai bidang liputan (beat).

3. Menguasai dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Teknis pembuatannya terangkum dalam konsep proses pembuatan berita (news processing), meliputi:

1. News Planning = perencanaan berita. Dalam tahap ini redaksi melakukan Rapat Proyeksi, yakni perencanaan tentang informasi yang akan disajikan. Acuannya adalah visi, misi, rubrikasi, nilai berita, dan kode etik jurnalistik. Dalam rapat inilah ditentukan jenis dan tema-tema tulisan/berita yang akan dibuat dan dimuat, lalu dilakukan pembagian tugas di antara para wartawan.

2. News Hunting = pengumpulan bahan berita. Setelah rapat proyeksi dan pembagian tugas, para wartawan melakukan pengumpulan bahan berita, berupa fakta dan data, melalui peliputan, penelusuran referensi atau pengumpulan data melalui literatur, dan wawancara.

3. News Writing = penulisan naskah. Setelah data terkumpul, dilakukan penulisan naskah.

4. News Editing = penyuntingan naskah. Naskah yang sudah ditulis harus disunting dari segi redaksional (bahasa) dan isi (substansi). Dalam tahap ini dilakukan perbaikan kalimat, kata, sistematika penulisan, dan substansi naskah, termasuk pembuatan judul yang menarik dan layak jual serta penyesuaian naskah dengan space atau kolom yang tersedia.

Setelah keempat proses tadi dilalui, sampailah pada proses berikutnya, yakni proses pracetak berupa Desain Grafis, berupa lay out (tata letak), artistik, pemberian ilustrasi atau foto, desain cover, dll. Setelah itu langsung ke percetakan (printing process).

Penyebarluasan Informasi

Yakni penyebarluasan informasi yang sudah dikemas dalam bentuk media massa (cetak). Ini tugas bagian marketing atau bagian usaha (Business Department) –sirkulasi/distribusi, promosi, dan iklan. Bagian ini harus menjual media tersebut dan mendapatkan iklan.

Media Massa

Media Massa (Mass Media) adalah sarana komunikasi massa (channel of mass communication). Komunikasi massa sendiri artinya proses penyampaian pesan, gagasan, atau informasi kepada orang banyak (publik) secara serentak.

Ciri-ciri (karakteristik) medi massa adalah disebarluaskan kepada khalayak luas (publisitas), pesan atau isinya bersifat umum (universalitas), tetap atau berkala (periodisitas), berkesinambungan (kontinuitas), dan berisi hal-hal baru (aktualitas).

Jenis-jenis media massa adalah Media Massa Cetak (Printed Media), Media Massa Elektronik (Electronic Media), dan Media Online (Cybermedia). Yang termasuk media elektronik adalah radio, televisi, dan film. Sedangkan media cetak –berdasarkan formatnya— terdiri dari koran atau suratkabar, tabloid, newsletter, majalah, buletin, dan buku. Media Online adalah website internet yang berisikan informasi- aktual layaknya media massa cetak.

Produk Utama Jurnalistik: Berita

Aktivitas atau proses jurnalistik utamanya menghasilkan berita, selain jenis tulisan lain seperti artikel dan feature.

Berita adalah laporan peristiwa yang baru terjadi atau kejadian aktual yang dilaporkan di media massa.

Tahap-tahap pembuatannya adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan fakta dan data peristiwa yang bernilai berita –aktual, faktual, penting, dan menarik—dengan “mengisi” enam unsur berita 5W+1H (What/Apa yang terjadi, Who/Siapa yang terlibat dalam kejadian itu, Where/Di mana kejadiannya, When/Kapan terjadinya, Why/Kenapa hal itu terjadi, dan How/Bagaimana proses kejadiannya)

2. Fakta dan data yang sudah dihimpun dituliskan berdasarkan rumus 5W+1H dengan menggunakan Bahasa Jurnalistik –spesifik= kalimatnya pendek-pendek, baku, dan sederhana; dan komunikatif = jelas, langsung ke pokok masalah (straight to the point), mudah dipahami orang awam.

3. Komposisi naskah berita terdiri atas: Head (Judul), Date Line (Baris Tanggal), yaitu nama tempat berangsungnya peristiwa atau tempat berita dibuat, plus nama media Anda, Lead (Teras) atau paragraf pertama yang berisi bagian paling penting atau hal yang paling menarik, dan Body (Isi) berupa uraian penjelasan dari yang sudah tertuang di Lead.

percaya Diri dalam berkreasi menulis

Sering kali, orang punya ide atau gagasan yang bagus dan ingin mengungkapkannya dengan menulis. Namun, tak jarang semua ide "brilian" itu menguap begitu saja karena kurangnya rasa percaya diri. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah sekadar karena kurangnya rasa percaya diri? Berikut ini contoh kalimat-kalimat yang menggambarkan hubungan antara menulis dan rasa percaya diri.

"Duh, aku nggak bisa nulis, nih!" "Duh, aku nggak tahu mau mulai dari mana?" "Terus, aku nulis apa, dong?" "Aku nggak yakin bakalan bisa nulis. Tulisanku kan jelek, ntar diketawain orang lagi!!!"

Ungkapan-ungkapan di atas tentunya sering kita dengar, bukan? Orang sering kali mengeluh ketika berhadapan dengan suatu tugas yang mewajibkan mereka untuk menulis. Beragam alasan muncul sebagai dalih untuk ketidakmampuan mereka dalam menulis. Mulai dari kurangnya ide, minimnya kosakata, cara merangkai suatu ide menjadi satu paragraf, ketidakmampuan dalam hal menyunting, dsb.. Pernyataan-pernyataan tadi seakan menjadi benteng yang sulit untuk dilewati oleh setiap orang ketika mulai belajar menulis.

"Nothing is impossible to do". Pernahkah kita menyadari arti ungkapan tersebut? Tidak ada hal yang mustahil untuk dikerjakan ketika kita mau berusaha. Pikiran positif akan mendorong kita untuk berusaha lebih keras daripada yang kita pikirkan. Hasilnya akan membuat kita takjub karena sebenarnya kita bisa meraih hasil lebih daripada yang kita pikirkan. Keterbatasan yang ada bukan karena ketidakmampuan kita dalam menulis, namun pikiran kita yang menghambatnya. Ini diakibatkan oleh kurangnya rasa percaya diri pada individu itu sendiri.

Setiap orang berdalih tidak mampu menulis dan mengalami krisis kepercayaan diri. Fenomena seperti ini seakan menjadi hal yang dianggap wajar oleh sebagian besar orang. Memang hal yang aneh tentunya kalau ada orang yang bisa membaca dan menulis selama bertahun-tahun sejak sekolah dasar mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menulis. Menulis selalu disalahartikan sebagai sesuatu yang sakral dan bersifat eksklusif. Eksklusif di sini dapat diartikan sebagai hal yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Misalnya, menulis hanya dilakukan oleh pengarang buku, penulis skenario, sastrawan, atau pun orang-orang yang bekerja dalam bidang seni.

Perlu dipahami bahwa menulis merupakan hal yang dapat dilakukan oleh setiap orang dan tidak memandang latar belakang, status sosial, bahkan bakat. Menulis merupakan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dan, menulis merupakan hal yang dapat dipelajari oleh semua orang. Belajar akan memudahkan setiap orang untuk terus menggali kemampuannya. Bakat bukanlah dewa yang harus ada dalam setiap individu. Keberhasilan sembilan puluh persen di antaranya ditentukan oleh kemampuan kita dalam berusaha, bukan soal bakat yang mendominasi kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu.

Menulis dapat dilakukan oleh semua orang karena menulis adalah salah satu bentuk kegiatan pengungkapan ide atau gagasan seseorang melalui sebuah media, seperti buku, buletin, novel, skenario, makalah, laporan penelitian, majalah, koran, surat, dsb.. Pengungkapan ide ini tidak boleh dibatasi oleh rasa kurangnya kepercayaan diri seseorang. Sebab, rasa percaya diri merupakan mesin penggerak utama seseorang dalam menulis.

Bila diibaratkan, ide-ide yang ingin kita sampaikan itu adalah tujuan yang ingin dicapai, dan untuk sampai pada tujuan, kita memerlukan sebuah sarana yang membantu kita, dalam hal ini tentu saja tingkat kepercayaan diri seseorang sangat berpengaruh dalam menentukan sampai tidaknya gagasan dan ide-ide kita dalam suatu tulisan. Percaya diri adalah salah satu bentuk sikap yang sangat kita butuhkan dalam pengembangan diri melalui aktivitas menulis. Jika seseorang merasa tidak mampu menulis, maka ide-ide yang ada dalam pikirannya akan macet dan tidak bisa dituangkan dalam suatu bentuk tulisan.

Nah, mungkin Anda penasaran dengan apa yang dimaksud dengan rasa percaya diri seseorang sehingga berpengaruh besar dalam hidup kita. Percaya diri merupakan salah satu motor penggerak dan gerbang kebebasan kita dalam mengungkapkan ide dan imajinasi kita. Ingat, imajinasi kita tak terbatas. Rasa kurang percaya diri kitalah yang membuatnya menjadi terbatas.

Definisi percaya diri (self-confidence) adalah sejauh mana Anda memiliki keyakinan terhadap penilaian atas kemampuan dan sejauh mana Anda bisa merasakan adanya "kepantasan" untuk berhasil. "Self-confidence" merupakan kombinasi dari "self-esteem" dan "self-efficacy" (James Neill, 2005). Self-esteem adalah sejauh mana Anda memiliki perasaan positif terhadap diri; sejauh mana Anda punya sesuatu yang dirasakan bernilai atau berharga dari diri Anda; sejauh mana Anda meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat, atau berharga di dalam diri Anda.

Sedangkan self-efficacy adalah sejauh mana Anda memiliki keyakinan atas kapasitas yang Anda miliki untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to succeed). Ini yang disebut dengan general self-efficacy. Atau juga, sejauh mana Anda meyakini kapasitas pada bidang Anda dalam menangani urusan tertentu. Ini yang disebut dengan specific self-efficacy.

Seperti apa yang disampaikan oleh Dr. Albert Bandura, bahwa self-efficacy yang bagus memiliki kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumuskan tujuan atau target untuk dirinya; sejauh mana orang memperjuangkan target itu; sekuat apa orang itu mampu mengatasi masalah yang muncul; dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya. Hal ini membuktikan bahwa rasa percaya diri saja ternyata tidak cukup kuat untuk merumuskan tujuan kita. Tetapkanlah target dan semangat yang kuat sehingga apa yang dicita-citakan dapat tercapai. Jangan pernah menyerah ketika menghadapi suatu rintangan. Perjuangkanlah apa yang menjadi tujuan Anda dan cobalah untuk meraihnya. Begitu juga soal rasa percaya diri dalam menulis, ternyata rasa ini akan sangat menunjang usaha kita dalam melatih keterampilan menulis.

Setiap orang tentu pernah mengalami krisis kepercayaan diri karena krisis ini dialami oleh hampir sebagian besar dari kita. Kurangnya rasa percaya diri ini membuat kita terpasung pada kondisi tetap, yang membuat kita tidak bisa bergerak dengan dinamis untuk menyalurkan segenap kemampuan kita. Krisis ini dapat berdampak negatif jika kita tidak menyadari arti penting percaya diri dalam hidup kita. Perasaan tidak mampu mengerjakan suatu hal secara terus-menerus dapat mengakibatkan matinya kreativitas seseorang. Perlu langkah yang tepat agar kita bisa terlepas dari belenggu kurangnya rasa percaya diri.

Dan ternyata, salah satu cara untuk membantu kita menghilangkan belenggu rasa kurang percaya diri itu tak lain adalah dengan menulis. Ya, menulis. Jangan pernah ragu untuk mengungkapkan gagasan Anda dalam bentuk tulisan. Sebab, menulis apa yang ada dalam benak kita tanpa bermaksud menghapusnya adalah suatu bentuk apresiasi terhadap diri sendiri.

Jangan pernah ragu untuk menulis, apalagi tidak berani menulis hanya karena kita tidak memunyai "basic skill" dalam menulis. Alasan klasik ini tidak dapat kita jadikan sebagai tameng terhadap keengganan kita dalam menulis. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, kita mampu mengerjakan sesuatu jika kita berpikir mampu dan kita gagal sebelum berusaha jika kita merendahkan kemampuan diri sendiri dengan mengatakan tidak mampu.

Hargailah diri Anda sendiri dan mulailah menulis. Intinya, saya menganjurkan kepada Anda untuk menulis. Tulislah apa saja yang ingin Anda tulis, tentang segala sesuatu yang pernah terlintas dalam benak Anda. Tumbuhkanlah motivasi pada diri Anda sendiri. Tingkatkan rasa percaya diri Anda untuk menulis saat ini juga. Dan, jangan membuang banyak waktu untuk berpikir apakah saya bisa atau tidak.

Persoalan selanjutnya mengenai apakah yang akan Anda tulis, bagaimana Anda meyampaikan ide, bagaimana mendeskripsikan sesuatu dan agar orang lain mengerti apa yang akan Anda tulis, serta hal teknis lainnya yang akan Anda kembangkan sendiri sesuai dengan sudut pandang dan kreativitas Anda. Kembangkanlah kreativitas dan idealisme Anda dalam menulis. Buatlah sesuatu yang unik dan merupakan ciri khas Anda. Hal ini dimaksudkan supaya Anda memunyai arah yang jelas serta tidak terjebak untuk meniru gaya penulisan orang lain yang belum tentu sesuai dengan pribadi Anda.

Menulis akan membantu Anda dalam meningkatkan kepercayaan diri. Sekali lagi, jangan pernah merendahkan diri sendiri dengan menganggap Anda tidak mampu. Saya yakin setiap orang memunyai sisi berbeda dari segi ide, konsep, dan gaya penulisan yang menarik untuk dibagikan pada orang lain. Jadi, jangan pernah takut dan menghapus apa yang sudah Anda tulis. Lihat dan cermati setiap tulisan Anda dan cobalah untuk menganalisisnya secara mandiri, baru kemudian meminta pendapat orang lain. Ini karena kita yang lebih mengetahui arah dan maksud tulisan kita. Orang lain yang memberikan kritik dapat kita jadikan perangsang dalam pengembangan keterampilan penulisan kita.

Analisis terhadap berbagai fenomena dan peristiwa yang tertuang dalam tulisan dapat kita jadikan sebagai sarana proses pembelajaran diri yang efektif. Sementara, kemampuan analisis internal bisa membuat kita belajar dalam melihat kekurangan yang kita miliki dan perlu diperbaiki, serta mengembangkan kelebihan yang sudah bisa kita capai.

Perasaan mampu atau tidak mampu akhirnya toh akan hilang. Dan, rasa percaya diri kita akan semakin tumbuh ketika kita mulai belajar menulis. Jangan pernah ragukan kemapuan diri Anda sendiri, bangunlah kepercayaan diri Anda, serta apresiasilah setiap kemajuan yang telah Anda capai. Hal ini akan menjadi penyemangat untuk terus maju dan mengembangkan kemampuan diri Anda. Selamat mencoba dan berusahalah membuat dunia menjadi berbeda dengan tulisan Anda.

bagaimana menggunakan bahasa dalam Jurnalistik

Bahasa ragam jurnalistik adalah ragam bahasa yang dipakai oleh para pengasuh media massa untuk menyajikan berita bagi audiensnya. Bahasa ragam jurnalistik, yang juga disebut sebagai bahasa koran atau bahasa media massa, ditengarai memiliki kalimat dan alinea yang pendek-pendek, bahasanya pun enak di baca. Lebih dari itu etika dasar jurnalistik menuntut agar bahasa di media massa menyiratkan kejujuran, hangat, akurat, sopan, tidak dibenarkan menggunakan kata-kata yang kasar, atau pun yang menyakiti hati orang. Kutipan tidak boleh diubah-ubah sembarangan apalagi tanpa alasan yang mendasar.

Melalui buku "Kalimat Jurnalistik: Panduan Mencermati Penulisan Berita ini" yang ditulis oleh A.M. Dewabrata, diuraikan pedoman-pedoman yang perlu diperhatikan dalam menyusun kalimat jurnalistik.

1. Gunakan kalimat yang jelas dan jernih.

Dalam kalimat jurnalistik kalimat gunakan kalimat yang jelas dan jernih, tidak ruwet, tidak keruh, kata dan kalimatnya populer. Kalimat yang digunakan haruslah kalimat yagn mengalir dan tidak tersendat.
2. Gunakan gaya bahasa sesuai beritanya.

Untuk "soft news", contohnya feature, sisipkan gaya bahasa yang menarik, sehingga pembaca tidak akan membuang berita Anda. Berita "hard news", gaya bahasa digunakan adalah gaya bahasa yang memberi kesan dan suasana tertentu.
3. Gunakan kalimat yang dapat dinalar atau dilogika.

Dalam menulis sebuah berita, seorang wartawan haruslah selalu menganggap pembacanya tidak tahu apa-apa, tidak punya referensi sedikitpun untuk mencerna berita yang disuguhkan. Karena itu, seorang wartawan akan menuangkan informasi selengkapnya dan sebaik mungkin dalam beritanya. Hal itu untuk menghindari mengelabui dan menyesatkan pembaca.
4. Perhatikan keakuratan berita.

Sebuah berita haruslah akurat, karena jika tidak, berita tersebut tidak pantas untuk dipercaya. Akurasi meliputi ketepatan mengutip sumber berita maupun data dan fakta. Akurasi adalah suatu refleksi rasa tanggungjawab penulis (wartawan)dan media massa yang bersangkutan. Ketidakakuratan dalam berita bisa menimbulkan kerancuan dan bisa juga merugikan orang lain. Menyebut sumber berita serta pada kesempatan informasi ataupun pernyataan yang diberikan disebut atribusi atau "credit line". Hal itu perlu karena pembaca memperoleh gambaran dari mana informsi didapat dan apa bisa dipercaya atau tidak.
5. Pilihlah kata yang tepat.
1. Perhatikan penggunaan kata tidak.

Perhatikan penggunaan kata tidak, karena kata ini berfungsi menegasikan (menghambarkan atau mementahkan) makna yang terkandung di belakangnya. Dalam kalimat jurnalistik kata tidak, sebaiknya diletakkan paling dekat dengan kata yang dinegasikan. Meski demikian, perlu kecermatan untuk menempatkan kata tidak dalam sebuah kalimat jurnalistik sehingga kita dapat menampilkan bahasa ragam jurnalistik yang benar, yang mengutamakan kerjernihan pesan.
2. Kata berkecenderungan.

Pemilihan kata untuk dipakai dalam penyusunan kalimat berita harus mempertimbangkan kecenderungan konotasinya. Kata melalaikan, mengabaikan, dan melecehkan, sama-sama punya makna tidak mau menuruti atau tidak memerhatikan. Tapi, masing-masing kata itu mengandung konotasi yang berbeda dan pesan yang dibawa juga berbeda muatannya, sehingga kalimat yang terbentuk dengan kata itu juga akan beda tampilan dan nuansanya.
3. Kata pungutan (adopsi)

Mengadopsi kata asing maupun daerah, atau mencipta sebuah kata baru, hendaknya memerhatikan alam pikiran orang Indonesia. Karena itu untuk memadankan perlu dipikirkan bagaimana dan apa yang terbagus agar pesan yang disampaikan lewat berita dapat dipahami.
6. Perhatikan juga penghematan kata.

Kata yang bertele-tele dan penuh dengan kata yang berbasa-basi, tidak cocok untuk penulisan berita dan isi media pada umumnya. Karena itu amat penting untuk menulis berita yang pendek, padat, bernas, jelas, dan bersih. Kata-kata yang mubazir harus dibuang, kalimat panjang dan benar-benar boros harus dipendekkan. Tapi hal itu bukan harga mati mengingat keluwesan sebuah media massa. Kadang sebuah kalimat pendek dipanjangkan apabila hal itu akan memperjelas maksud sebuah kalimat. Patokan yang sebenarnya hanyalah soal kejernihan isi berita, agar pesan sampai kepada pembaca dengan sempurna.

Hal yang disebutkan di atas perlu diperhatikan oleh orang yang akan terjun di dalam dunia jurnalistik. Karena lewat media massa, secara langsung atau tidak langsung, wartawan adalah pendidik bagi masyarakatnya. Jika pendidiknya pandai dan menggunakan metode yang cerdas, maka ada harapan masyarakat yang mendapat pengetahuan dari media massa menjadi pandai pula.

Jurnalistik pahamkah anda?

Pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini cukup memberikan kemajuan yang signifikan. Media cetak maupun elektronik pun saling bersaing kecepatan sehingga tidak ayal bila si pemburu berita dituntut kreativitasnya dalam penyampaian informasi. Penguasaan dasar-dasar pengetahuan jurnalistik merupakan modal yang amat penting manakala kita terjun di dunia ini. Keberadaan media tidak lagi sebatas penyampai informasi yang aktual kepada masyarakat, tapi media juga mempunyai tanggung jawab yang berat dalam menampilkan fakta-fakta untuk selalu bertindak objektif dalam setiap pemberitaannya.

Apa Itu Jurnalistik?

Menurut Kris Budiman, jurnalistik (journalistiek, Belanda) bisa dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita kepada khalayak melalui saluran media tertentu. Jurnalistik mencakup kegiatan dari peliputan sampai kepada penyebarannya kepada masyarakat. Sebelumnya, jurnalistik dalam pengertian sempit disebut juga dengan publikasi secara cetak. Dewasa ini pengertian tersebut tidak hanya sebatas melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dsb., namun meluas menjadi media elektronik seperti radio atau televisi. Berdasarkan media yang digunakan meliputi jurnalistik cetak (print journalism), elektronik (electronic journalism). Akhir-akhir ini juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online journalism).

Jurnalistik atau jurnalisme, menurut Luwi Ishwara (2005), mempunyai ciri-ciri yang penting untuk kita perhatikan.

a. Skeptis

Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.

b. Bertindak (action)

Wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.

c. Berubah

Perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.

d. Seni dan Profesi

Wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.

e. Peran Pers

Pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta advokasi.

Berita

Ketika membahas mengenai jurnalistik, pikiran kita tentu akan langsung tertuju pada kata "berita" atau "news". Lalu apa itu berita? Berita (news) berdasarkan batasan dari Kris Budiman adalah laporan mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang terbaru (aktual); laporan mengenai fakta-fakta yang aktual, menarik perhatian, dinilai penting, atau luar biasa. "News" sendiri mengandung pengertian yang penting, yaitu dari kata "new" yang artinya adalah "baru". Jadi, berita harus mempunyai nilai kebaruan atau selalu mengedepankan aktualitas. Dari kata "news" sendiri, kita bisa menjabarkannya dengan "north", "east", "west", dan "south". Bahwa si pencari berita dalam mendapatkan informasi harus dari keempat sumber arah mata angin tersebut.

Selanjutnya berdasarkan jenisnya, Kris Budiman membedakannya menjadi "straight news" yang berisi laporan peristiwa politik, ekonomi, masalah sosial, dan kriminalitas, sering disebut sebagai berita keras (hard news). Sementara "straight news" tentang hal-hal semisal olahraga, kesenian, hiburan, hobi, elektronika, dsb., dikategorikan sebagai berita ringan atau lunak (soft news). Di samping itu, dikenal juga jenis berita yang dinamakan "feature" atau berita kisah. Jenis ini lebih bersifat naratif, berkisah mengenai aspek-aspek insani (human interest). Sebuah "feature" tidak terlalu terikat pada nilai-nilai berita dan faktualitas. Ada lagi yang dinamakan berita investigatif (investigative news), berupa hasil penyelidikan seorang atau satu tim wartawan secara lengkap dan mendalam dalam pelaporannya.

Nilai Berita

Sebuah berita jika disajikan haruslah memuat nilai berita di dalamnya. Nilai berita itu mencakup beberapa hal, seperti berikut.

1. Objektif: berdasarkan fakta, tidak memihak.
2. Aktual: terbaru, belum "basi".
3. Luar biasa: besar, aneh, janggal, tidak umum.
4. Penting: pengaruh atau dampaknya bagi orang banyak; menyangkut orang penting/terkenal.
5. Jarak: familiaritas, kedekatan (geografis, kultural, psikologis).

Lima nilai berita di atas menurut Kris Budiman sudah dianggap cukup dalam menyusun berita. Namun, Masri Sareb Putra dalam bukunya "Teknik Menulis Berita dan Feature", malah memberikan dua belas nilai berita dalam menulis berita (2006: 33). Dua belas hal tersebut di antaranya adalah:

1. sesuatu yang unik,
2. sesuatu yang luar biasa,
3. sesuatu yang langka,
4. sesuatu yang dialami/dilakukan/menimpa orang (tokoh) penting,
5. menyangkut keinginan publik,
6. yang tersembunyi,
7. sesuatu yang sulit untuk dimasuki,
8. sesuatu yang belum banyak/umum diketahui,
9. pemikiran dari tokoh penting,
10. komentar/ucapan dari tokoh penting,
11. kelakuan/kehidupan tokoh penting, dan
12. hal lain yang luar biasa.

Dalam kenyataannya, tidak semua nilai itu akan kita pakai dalam sebuah penulisan berita. Hal terpenting adalah adanya aktualitas dan pengedepanan objektivitas yang terlihat dalam isi tersebut.

Anatomi Berita dan Unsur-Unsur

Seperti tubuh kita, berita juga mempunyai bagian-bagian, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Judul atau kepala berita (headline).
2. Baris tanggal (dateline).
3. Teras berita (lead atau intro).
4. Tubuh berita (body).

Bagian-bagian di atas tersusun secara terpadu dalam sebuah berita. Susunan yang paling sering didengar ialah susunan piramida terbalik. Metode ini lebih menonjolkan inti berita saja. Atau dengan kata lain, lebih menekankan hal-hal yang umum dahulu baru ke hal yang khusus. Tujuannya adalah untuk memudahkan atau mempercepat pembaca dalam mengetahui apa yang diberitakan; juga untuk memudahkan para redaktur memotong bagian tidak/kurang penting yang terletak di bagian paling bawah dari tubuh berita (Budiman 2005) . Dengan selalu mengedepankan unsur-unsur yang berupa fakta di tiap bagiannya, terutama pada tubuh berita. Dengan senantiasa meminimalkan aspek nonfaktual yang pada kecenderuangan akan menjadi sebuah opini.

Untuk itu, sebuah berita harus memuat "fakta" yang di dalamnya terkandung unsur-unsur 5W + 1H. Hal ini senada dengan apa yang dimaksudkan oleh Lasswell, salah seorang pakar komunikasi (Masri Sareb 2006: 38).

1. Who - siapa yang terlibat di dalamnya?
2. What - apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?
3. Where - di mana terjadinya peristiwa itu?
4. Why - mengapa peristiwa itu terjadi?
5. When - kapan terjadinya?
6. How - bagaimana terjadinya?

Tidak hanya sebatas berita, bentuk jurnalistik lain, khususnya dalam media cetak, adalah berupa opini. Bentuk opini ini dapat berupa tajuk rencana (editorial), artikel opini atau kolom (column), pojok dan surat pembaca.

Sumber Berita

Hal penting lain yang dibutuhkan dalam sebuah proses jurnalistik adalah pada sumber berita. Ada beberapa petunjuk yang dapat membantu pengumpulan informasi, sebagaimana diungkapkan oleh Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik (Luwi Iswara 2005: 67) berikut ini.

1. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita.
2. Proses wawancara.
3. Pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik.
4. Partisipasi dalam peristiwa.

Kiranya tulisan singkat tentang dasar-dasar jurnalistik di atas akan lebih membantu kita saat mengerjakan proses kreatif kita dalam penulisan jurnalistik.

Dunia Jurnalistik

Jurnalisme adalah kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit, menerbitkan berita melalui koran dan majalah atau memancarkan berita melalui radio dan televisi. Jurnalisme pada dasarnya merupakan bagian dari komunikasi massa secara luas (termasuk juga radio, televisi bahkan bioskop), meski dasar dari jurnalisme adalah koran alias suratkabar.
Sedangkan pers dalam artian sempit adalah media massa cetak seperti Koran, Majalah dan Tabloid. Kendati demikian pers adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya.

Jurnalistik berasal dari Bahasa Romawi "Diurna" di-Inggriskan menjadi "Journal". Sebuah Surat Kabar yang terbit kala itu adalah "Aucta Diurna" terbit di Romawi (kini Yugoslavia) dengan kulit domba sebagai kertasnya dan tintanya dari arang. Isinya juga terbatas pada aktifitas keluarga raja.

Dalam perkembangannya, karena kemajuan teknologi dan ditemukannya mesin percetakan dengan sistem silinder, maka muncullah istilah pers. Sehingga orang lalu mensenadakan istilah "jurnalistik" dengan "pers".

Di dunia yang serba maju kini, pers mempunyai fungsi berikut:
1. Fungsi Menyiarkan Informasi
2. Fungsi Mendidik
3. Fungsi Menghibur
4. Fungsi Mempengaruhi

Berbicara pers dan jurnalistik, tentunya kita tidak akan lepas dari peran orang yang bermain di dalamnya. Orang yang bekerja dalam dunia jurnalistik disebut wartawan. Seorang wartawan adalah wakil dari masyarakatnya untuk mendengar dan menyuarakan nurani masyarakat. Oleh karena itu, seorang wartawan harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Tidak cukup hanya kepekaan, keberanian seorang wartawan juga dipertaruhkan.

Profesi wartawan adalah sebuah profesi yang penuh tantangan. Dalam suatu kesempatan ia disanjung demikian hingga, namun dalam kesempatan lain ia dihujat. Apabila berita yang diturunkan terkesan datar, masyarakat beranggapan wartawannya sudah melempem. Bila suatu laporan turun dengan anilisis tajam, menyajikan data konkrit, banyak pihak akan tersinggung.

Tahu dan berani merupakan modal awal seorang pewarta. Untuk tahu ia perlu melakukan penelitian atau penelusuran masalah yang akan ia bahas. Tidak cukup di situ, setelah data yang ia peroleh sudah dianggap cukup perlu diadakan verifikasi dan cross check data. Dalam tahap akhir sebuah liputan adalah melaporkan berita. Lalu, selesaikah tugas seorang wartawan? Tentu tidak, justru dari sinilah tugas seorang jurnalis bermula. Jurnalisme tidak hanya berhenti pada peliputan dan laporan berita (reportasi) tapi lebih dari itu, pengaruhnya di ranah publik.

Kadangkala kita terlalu parsial menyoroti wartawan. Seringkali kita beranggapan bahwa pekerjaan wartawan adalah mencari berita untuk mengejar sensasi. Mengungkap aib orang lain dan menyebarkannya kepada publik. Padahal tidak sedikit wartawan yang menjadi kambing hitam. Bahkan, mempertaruhkan nyawa karena berita yang diturunkannya. Sebut saja Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syarifuddin dan Koresponden GATRA, Ahmad Jakfar Busyiri.

Oleh karena itu perlu kiranya kita memahami sikap dasar seorang wartawan yang terangkum dalam beberapa hal berikut:
Wartawan sebagai panggilan hidup
Sikap kritis dan ingin tahu
Kecepatan dan ketepatan
Etos kerja yang tuntas
Lobi
Kompetisi sehat
Disiplin diri
Kerja terencana
Sebagai seorang pengamat
Chek dan recheck

Tugas dan kewajiban seorang wartawan dapat kita simpulkan dari sembilan elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dapat diringkas sebagai berikut:
1)Kewajiban utama pada kebenaran.
2)Loyalitas utama pada masyarakat.
3)Disiplin verifikasi sebagai esensi jurnalisme.
4)Menjaga independensi dari objek liputan.
5)Wartawan merupakan pemantau independen terhadap kekuasaan.
6)Wartawan harus mampu menyediakan forum bagi publik untuk kritik dan pencarian kompromi.
7) Wartawan harus mampu membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8) Wartawan harus selalu membuat pemberitaan yang proporsional dan komprehensif.
9) Wartawan harus menguji kesadaran personalnya.

Dalam melakukan tugasnya, seorang wartawan memperoleh sejumlah keistimewaan. Antara lain:
Mereka dilindungi oleh undang-undang kebebasan menyatakan pendapat.
Mereka berhak menggunakan bahan/dokumen/pernyataan publik.
Mereka dibenarkan memasuki kehidupan pribadi seseorang dan para tokoh publik (public figure) demi memperoleh informasi yang lengkap dan akurat -- karena mereka mewakili mata, telinga serta indera pembacanya.

Wartawan bukanlah dewa yang pantang berbuat salah, sengaja ataupun tidak, oleh karena itu masyarakat punya hak untuk memberikan kritik dan koreksi berdasarkan hal-hal berikut:
Kode etik
pasal Pencemaran (Libel): hukum-hukum yang menyangkut pencemaran nama baik
Hukum tentang hak pribadi (Privacy)
Panduan tentang selera umum

Demikianlah, jurnalisme memang suatu hal yang penting karena tidak hanya berfungsi sebagai informer, tetapi juga interpreter, wakil publik dan berperan jaga. Tentunya masih banyak hal lain dan problematika pers yang terus berkembang seiring tuntutan zaman, seperti by line dan fire wall yang hingga kini jarang kita temukan dalam pers kita. Tapi, kita harus memahami jurnalisme dengan menegakkan keadilan dan menyuarakan kebenaran di atas segalanya.

Jurnalis dan fakta kasus

Di Jakarta, bunuh diri dengan cara terjun bebas dari ketinggian sebuah gedung jangkung kini seperti menjadi modus favorit. Mereka –pelaku bunuh diri- memilih mal atau apartemen sebagai tempat untuk mengakhiri hidup dengan menjatuhkan diri, melayang deras, dan bruk. Kita lantas berseru: Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

Akibat ‘pilihan’ cara mati seperti itu, si pelaku mendadak terkenal. Sebab, ‘aksi’ tersebut sangat mudah diketahui publik karena berlangsung di tengah keramaian. Maka, dalam waktu singkat, kabar tersebar cepat menyebar di berbagai media.

Tersebutlah, ada yang memilih terjun bebas dari lantai lima sebuah mal dan terjatuh di lantai satu, di saat pengunjung masih ramai. Ada pula yang terjun bebas dari lantai 27 di sebuah apartemen dan ditemukan meninggal di lantai 7, ketika jam masih menunjuk pukul 15.00.

Pilihan bunuh diri di tengah keramaian –tentu saja- cukup mengherankan. Sebab, di masa lalu, bila ada orang bunuh diri cenderung dengan cara yang meminimalkan jumlah orang bisa mengetahuinya. Itu dilakukan lantaran malu jika diketahui banyak orang sehingga memilih melakukannya di tempat-tempat tersembunyi. Tapi, sekarang?

Berdasarkan keterangan dari orang-orang dekat si pelaku, terdapat macam-macam pemicu aksi tak terpuji itu. Ada yang diperkirakan karena kesulitan keuangan. Di kasus lain, ada tengara karena tak tahan menderita atas sakit yang menderanya dan tak kunjung sembuh. Di kasus berbeda, si pelaku bersikap nekat -konon- setelah permintaan kawin dirinya tak segera dipastikan kapan akan dikabulkan oleh orangtuanya.

Kita harus mewaspadai gencarnya pemberitaan di seputar aksi bunuh diri sebab hal itu bisa menjadi ‘penyakit menular’ yang sangat berbahaya. Lihat –misalnya- Psikiater Nalini Muhdi mengingatkan kita dengan menulis “Bunuh Diri Itu Menular” di Kompas19/12/2009. Bahwa di sekitar akhir abad kedelapan belas, Goethe, seorang penulis kesohor, bertutur dalam novelnya, The Sorrows of Young Werther. Dikisahkan, sang tokoh protagonis, Werther, sengaja mengakhiri hidup karena cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat setelah novel tersebut beredar, tindakan Werther ditiru oleh banyak pembacanya dengan memakai pakaian dan cara mati yamg serupa dengan yang dilakukan Werther, sementara buku novel tersebut berada di sampingnya. Dramatis!

Banyak bukti –lanjut Nalini Muhdi - memperjelas bahwa mereka terinspirasi oleh kisah sang tokoh dalam novel tersebut. Kejadian yang sempat menggemparkan bumi Eropa saat itu sehingga novel tersebut lantas dilarang beredar. Dari situlah muncul istilah The Werther effect, atau bunuh diri yang menjalar cepat bak penyakit menular (contagious). Mereka mengimitasi apa yang dibaca, dilihat, atau didengar, terutama bagi individu yang rentan.

Penilaian Nalini Muhdi soal bunuh diri sebagai ‘penyakit menular’ senada dengan pengamatan Komnas Perlindungan Anak. Lembaga yang disebut terakhir itu merilis, bahwa di tahun 2006 hingga akhir 2009, 68 persen tayangan di 13 stasiun televisi mengandung kekerasan. Selain karena dipengaruhi minimnya komunikasi yang terbangun antaranggota keluarga dan kontrol diri yang lemah sehingga memicu meningkatnya tingkat stres pada warga masyarakat, kasus-kasus bunuh diri akhir-akhir ini diduga juga karena faktor tayangan TV yang mengandung kekerasan. Ditambah lagi arus sekularisasi, kapitalisasi semakin menggeser nilai keislaman di media cetak hingga media televisi. "Awalnya karena masalah ekonomi, hubungan yang tidak harmonis antaranak, suami dan istri, siswa kepada guru," tutur aktivis Komnas Perlindungan Anak Kak Seto Mulyadi.

Menurut Seto, tayangan televisi-lah yang paling fatal mempengaruhi pikiran masyarakat. Tayangan-tayangan ekstrim seperti terjun dari ketinggian, menusuk diri, dan sebagainya, telah mengalirkan pengaruh yang sangat kuat kepada masyarakat, yang pada dasarnya telah terjangkit stres untuk melakukan hal-hal serupa.

Apalagi kemudian –kata Seto- jika yang bersangkutan sedang dalam keadaan bingung, putus asa, dan merasa dalam keterasingan dan ketertekanan, maka tindakan yang tak masuk akal seperti bunuh diri bisa menjadi pelarian penyelesaian masalahnya. Seto mengimbau agar masyarakat tidak terjebak tenggelam dengan masalahnya sendiri. Karena sibuk hanya mencari uang, misalnya, anak yang harusnya juga mendapat perhatian dan butuh hubungan komunikasi, menjadi terbengkalai.

Sangat Terlarang!

“Hidup adalah perjuangan yang tak pernah selesai”, demikian motto hidup yang dipegang oleh banyak orang. Ini sangat bisa kita mengerti, sebab di antara warna hidup itu adalah bagimana cara kita dalam mengatasi berbagai ujian/ cobaan yang datang silih berganti sampai maut menjemput kita. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS Al-Baqarah [2]: 155).

Tapi, betapapun berat –bahkan sangat berat- cobaan yang kita hadapi, hendaknya kita hadapi dengan sabar. Sebab, bersama shalat, sabar adalah senjata kaum beriman dalam menyelesaikan masalah. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)… . (QS Al-Baqarah [2]:214). Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (QS Al-Baqarah [2]: 45).

Yakinlah, jika kira berusaha mengatasi masalah dengan selalu tetap menjalankan syariat Allah, kita akan dapat mengatasinya. Sebab, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al-Baqarah [2]: 286). Yakinlah, tak akan pernah ada kesulitan yang tak pernah berakhir, sebab, “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS Alam Nasyrah 94: 6)

Oleh, karena itu menghindari –atau lari- dari masalah adalah perbuatan yang sama sekali tak beralasan. Dan –lebih tak beralasan lagi- jika mengambil keputusan untuk bunuh diri. Dan, janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS An-Nisaa’ [4]: 29). Dan, janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS Al-Baqarah [2]: 195).

Dengan demikian, sadarlah, bunuh diri samasekali bukan pilihan untuk menyelsaikan masalah!

Azab Menanti

Pengetahuan tentang keseluruhan ajaran Islam memang harus kita miliki. Dengan tahu dan paham insyaAllah kita menjadi terbimbing secara benar dalam meniti kehidupan ini. Berikut ini telaah ringkas yang mudah-mudahan bisa menjadi pegangan kita dalam bersikap, bahwa bunuh diri sangat terlarang.

Islam sangat menghargai jiwa manusia. Tak boleh kita membunuh tanpa haq, sebab yang demikian itu termasuk salah satu dosa besar yang Allah mengancamnya dengan adzab yang pedih di neraka jahanam. Allah murka jika ada hamba-Nya yang melakukan pembunuhan tanpa haq. Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam dia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya (QS An-Nisaa’ [4]: 93). Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan, sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi (QS Al-Maaidah [5]: 32).

Terlihat, Islam menilai manusia sangat tinggi. Maka, apapun alasannya, perbuatan membunuh (termasuk bunuh diri) tidak ada landasannya, seperti petunjuk di atas.

Islam melarang keras bunuh diri. Pelakunya tergolong musyrik dan kekal di neraka. Apapun alasan dan cara membunuh diri (seperti dengan meminum racun, gantung diri, terjun bebas, melukai diri, dan lain-lain) hukumnya adalah haram dan pelakunya akan kekal di dalam neraka.

Rasulullah SAW pun mengancamnya dengan adzab di neraka dan kekal di dalamnya, karena hal itu bertentangan dengan wajibnya bersabar ketika tertimpa musibah dan bencana seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.

Sungguh, pelaku bunuh diri siksaannya sangat pedih. Dari Abu Hurairah RA, bersabda Rasulullah SAW: ”Barang siapa membunuh dirinya dengan besi, maka tangannya akan menusuk-nusukkan besi itu ke perutnya di neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Barang siapa meminum racun untuk membunuh dirinya, maka dia meneguk racun tersebut di neraka jahanam kekal di dalamnya. Dan barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung untuk membunuh dirinya maka dia akan menjatuhkan dirinya di neraka jahanam dan kekal di dalamnya" (HR Bukhari-Muslim).

Perhatikan pula ilustrasi di bawah ini. Misal, ada seorang pejuang Islam ditangkap dan ditawan musuh. Dia lalu mengalami intimidasi dan penyiksaan yang luar biasa tak tertahankan. Situasi yang seperti itu tak jarang memunculkan pikiran negatif seseorang untuk lebih baik segera mati dengan cara bunuh diri ketimbang hidup dengan menanggung derita yang menyayat.

Jika pikiran negatif itu lalu diwujudkan denganh membunuh dirinya sendiri, maka tindakan seperti ini jelas haram. Berdasar riwayat berikut ini kita bisa mengambil pelajaran. Pernah ada seseorang yang terluka, kemudian dia membunuh dirinya. Maka, Allah pun berfirman: ‘Hamba-Ku telah meminta kepada-Ku menyegerakan (kematian) dirinya, maka Aku haramkan surga untuknya (HR Bukhari).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS An-Nisaa’ [4]: 29).

Jagalah Keluarga!

Islam mengajarkan agar kita benar-benar bisa menjaga diri dan keluarga kita dari kemungkinan terseret ke neraka. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS At-Tahrim [66]: 6).

Maka, oleh karena bunuh diri adalah dosa yang tak terampuni (alias pasti masuk neraka), maka kita wajib melakukan usaha-usaha agar diri dan keluarga kita terjauh dari pikiran untuk memilih bunuh diri sebagai ”pilihan jawaban” di saat-saat menghadapi masalah yang kita anggap superberat.

Ayo saling jaga. Mari saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. []

Rabu, 30 Desember 2009

tentang Jurnalis

Tentang Media Bersama
Mediabersama.com adalah situs jurnalisme warga yang menghimpun, mengelola dan menyebarkan berbagai informasi penting dari dan untuk publik. Tujuan utamanya, selain untuk mengimbangi dominasi informasi media-media mainstream, mengisi item-item infomasi yang tidak diberitakan oleh media-media mainstream, juga untuk melibatkan publik dalam memproduksi informasi dan pengetahuan yang berguna bagi publik itu sendiri. Ketergantungan publik terhadap pemberitaan media akan memperlebar ruang hegemoni, dari atas ke bawah. Suka atau tidak suka, publik harus menerimanya sebagai kebenaran. Padahal media juga mempunyai kecenderungan salah.

Kelahiran Mediabersama.com berawal dari pembicaraan beberapa orang peserta diskusi online Rumahkiri.net sekitar akhir tahun 2007. Gagasan yang berkembang waktu itu tidak secara khusus diarahkan untuk membangun situs jurnalisme warga, tapi menyadari pentingnya keberadaan media alternatif progresif yang dikelola sungguh-sungguh dan menggunakan prinsip-prinsip jurnalisme.

Kelemahan media-media alternatif yang ada justru ada pada penyajian, tata bahasa yang tidak populer, sehingga pesannya sulit dicerna oleh publik. Padahal materi-materi yang dimuat di media alternatif banyak yang jauh lebih penting ketimbang rumor di parlemen atau pidato politik yang mengumbar janji. Prinsip jurnalisme (akurat, faktual, bertanggungjawab, dan memenuhi unsur 5W+1H—What, Who,When, Where, Why dan How) sangat penting untuk menanamkan kepercayaan publik.
Melihat pesatnya teknologi juga perlu kita manfaatkan. Daya jangkau luas, efisien dan bisa melibatkan publik untuk memproduksi berita, dasar bagi tumbuhnya jurnalisme warga. Tentunya dengan semaksimal mungkin memberi pemahaman kepada publik pentingnya membuat berita dari apa yang dialami dan dilihat serta menyuarakan aspirasi, pendapat dan ide.

about Jurnalistik

Untuk Siapa Sebuah Berita Ditulis?

Untuk kepentingan apa dan siapakah sebenarnya sebuah berita ditulis?
Berawal dari pencurian mobil oleh seorang laki-laki, beberapa bulan yang lalu. Mobil itu milik Brigitte van de Voorde. Pencuri mobil itu akhirnya tertangkap dan tentu saja diadili. Sayangnya, hakim memutuskan untuk membebaskan sang pencuri mobil. Keputusan ini dikeluarkan antara lain justru atas permintaan Brigitte van de Voorde sebagai korban.
Tapi anehnya, Michael Bennett, wartawan The West Australian yang meliput sidang itu justru yang tidak terima dengan putusan bebas sang hakim.
Di luar gedung pengadilan, wartawan koran itu mewawancarai Brigitte van de Voorde.
Michael Bennett : Bu, akan adil jika Anda sebagai korban marah atas keputusan ini.
Brigitte van de Voorde : Tidak... saya tidak marah...
Michael Bennett : Kalau gitu, bagaimana kalau kita tulis Anda kecewa karena pencuri mobil itu tidak dipenjara.
Brigitte van de Voorde : Tidak. saya justru tidak mengharapkan dia dipenjara.
Michael Bennett : ????
Tapi di otak Bennett, sebagai wartawan, justru yang paling diharapkan adalah sebuah kemarahan.
Sore harinya, Bill Hatto, fotografer The West Australian datang ke rumah Brigitte van de Voorde untuk mengambil foto perempuan itu di depan mobilnya yang sempat dicuri.
Terjadi dialog semacam ini.
Bill Hatto : Saya ingin Anda terlihat begitu marah....
Brigitte van de Voorde : Saya tidak marah, semua ini berakhir menyenangkan.
Bill Hatto : ????
Jepret...jepret....jepret...Sang fotografer mengambil foto dari semua sudut, berupaya menampakkan ekspresi marah perempuan itu. Tapi dia tak pernah bisa karena Brigitte selalu tersenyum.
Sayangnya, otak fotografer ini juga sudah sejalan dengan sang wartawan. Pokoknya sebagai korban kejahatan, Brigitte van de Voorde harus MARAH.
Maka esok paginya keluarlah berita beserta foto perempuan itu besar-besar. Judulnya : KORBAN PENCURIAN MOBIL MARAH KARENA HAKIM MEMBEBASKAN TERDAKWA. Beritanya, tentu saja berisi kemarahan.
Lengkap dengan fotonya yang diberi caption : KECEWA;BRIGITTE VAN DE VOORDE MENYATAKAN DIA TIDAK TERIMA KARENA PENCURI MOBILNYA LOLOS DARI HUKUMAN PENJARA. Padahal Brigitte nampak tersenyum dalam foto itu. Dia tak menuruti permintaan sang fotografer untuk menampakkan kemarahan.Buntutnya, Brigitte mengajukan komplain ke The West Australian dan menuntut koran itu memuat ralat berita di halaman pertama, dimana berita itu muncul sebelumnya.Esok paginya muncul berita permintaan maaf dari The West Australian di halaman 3.
Di sidang terakhir kasus ini, hakim ikut memberikan komentar. Menurutnya, Brigitte telah menjadi korban dua kejahatan, yaitu pencurian mobil dan kebohongan media.
Jadi, untuk siapa dan kepentingan apa sebenarnya wartawan menulis sebuah berita?

Pertarungan AM-FM

Waktu kecil, saya disuguhi adegan menarik dalam dunia radio, yaitu mulai hilangnya jalur AM dan pindah ke FM. Nggak ngetren kalau tidak mendengar FM. Jalur ini suaranya lebih bagus, jernih, enak di telinga. Beda sekali dengan AM yang kresek-kresek....Sejak kenal jalur FM, bisa dibilang saya sama sekali tidak mendengarkan radio AM. Setahu saya, jika tak salah, radio-radio pun beralih ke FM karena tidak ingin ditinggalkan pendengarnya. Saya bahkan tidak tahu, apakah di Jogja masih ada radio AM mengudara saat ini.
Tapi ternyata tidak di luar negeri. Di Amerika radio AM awet dan jumlah pendengarnya stabil, bahkan cenderung naik secara umum. Fenomena paling dekat adalah Rush Limbaugh, penyiar di jaringan Premiere Radio Networks yang kini jadi corong suara Republikan Amerika. Meski Rush Limbaugh sudah jadi penyiar sejak 1970-an, tapi popularitasnya betul-betul mencapai puncak di era Obama ini. Dan Limbaugh siaran di jalur AM.
Begitu pula di Australia, radio AM tak kalah bersaing. Dalam survei yang berakhir Maret 2009 lalu, radio AM unggul hampir di semua kota besar Australia, kecuali Brisbane dan Perth. Di Sydney misalnya, nomor satu adalah 2GB sedang di Melbourne ABC774. Dan untuk kategori penyiar paling kesohor di Australia, Alan Jones bertahun-tahun tidak tergantikan. Dia memandu acara pagi hari paling banyak di dengarkan di Australia di radio 2GB.
Baik Rush Limbaugh maupun Alan Jones mencatatkan pendapatan jutaan dollar setiap tahunnya dari mengoceh di radio.
Posisi radio AM di dua kota terbesar yaitu Sydney dan Melbourne tak pernah tergantikan selama bertahun-tahun. Artinya, selera pendengar radio juga tidak banyak berubah. Acara jalur AM biasanya lebih banyak omongan dan sedikit lagu, beda dengan FM yang komposisi lagu dan omongan biasanya seimbang, atau mungkin lebih banyak lagu-lagunya. Radio AM tak mungkin mengandalkan lagu karena kualitas suaranya lebih jelek.
Alan Jones membuktikan bahwa pendengar, setidaknya di kota-kota besar di Australia memang lebih suka menikmati omongannya dari pada mendengar lagu-lagu. Sepanjang siaran, Alan JOnes memang ngoceh melulu. Entah bagaimana dia mengumpulkan semua bahan ocehan itu, mungkin ada tim yang kuat di belakangnya.
Ocehan itu kadang kasar, tapi orang menyukainya. Datanya kuat, analisisnya tajam, dan diselingi humor yang pas. Tiga jam berbusa-busa, tapi pendengar tetap menunggu Alan Jones siaran tiap pagi. Alan Jones dulu siaran di 2UE, tapi kemudian dibajak oleh 2GB dengan janji gaji jauh lebih tinggi. Anehnya, pendengar ikutan pindah dari 2UE ke 2GB. Rupanya mereka tidak fanatik dengan stasiun radio, mereka adalah penggemar setia Alan Jones yang akan mengikuti kemanapun penyiar ini pindah siaran. Kepindahan ini juga membawa serta pemasang iklan yang meninggalkan 2UE agar tetap bisa beriklan di acara Alan Jones di 2GB.
Dan memang benar, Alan Jones membawa berkah besar bagi 2GB.Dan dominasi jalur AM sampai saat ini masih sulit dipatahkan. Perolehan iklan radio AM jauh melampaui radio FM.
Barangkali, radio-radio AM di Jogja bisa bangkit dengan cara yang sama.


Jurnalis, Penipu, Deadline

Ini adalah kisah, dimana pengalaman jurnalistik yang luas dan senioritas kadang kalah oleh ketergesaan akibat tenggat waktu. News Limited, penerbit besar yang antara lain menaungi The Telegraph dan The Sunday Telegraph terancam gugatan besar. Editornya bahkan terancam dipecat.Kisah bermula dari kontak Jack Johnson, seorang pensiunan tentara Australia dengan paparazzi Jamie Fawcett. Johnson menawarkan sejumlah foto bugil seorang gadis yang dia katakan bernama Pauline Hanson. Fawcett tertarik karena foto itu beraroma duit besar. Pauline Hanson sedang maju dalam pemilihan senat negara bagian Queensland. Tentu saja, jika benar itu foto Pauline Hanson, aroma politik yang sedang hangat akan menambah nilai jualnya. Johnson mengatakan, foto itu dia ambil di sebuah hotel di Queensland.Fawcett kemudian mengirim Frank Thorne, seorang jurnalis freelance di Sydney untuk mewawancarai Johnson mengenai detil foto itu, termasuk dimana dia memotret sang perempuan. Dalam wawancara 45 menit, Johnson antara lain juga menyebut bahwa dia juga memiliki foto setengah bugil istri perdana menteri Australia.Thorne langsung mengakhiri wawancara dengan Johnson dan yakin bahwa persiunan tentara itu pembohong. Wawancara dilakukan Jumat, 13 Maret.News Limited, penerbit koran kawakan dengan jurnalis-jurnalis hebat itu, tidak melakukan apa yang Thorne lakukan, re-cek.Fawcett, sang paparazzi, mengirim e mail berisi foto Pauline Hanson tanggal 14 Maret. Dalam waktu kurang dari dua jam, The Sunday Telegraph merespon dan tertarik membeli foto itu. Dan koran The Sunday Telegraph memasang besar-besar foto-foto itu, Minggu 15 Maret.Selama seminggu persoalan ini bergulir, sampai kemudian semua tahu bahwa foto bugil perempuan itu kemungkinan besar diambil dari situs porno Rusia. Dan News Limited terancam gugatan ratusa ribu atau bahkan jutaan dollar Australia.Neil Breen, Editor edisi minggu itu terancam dipecat.
Media Watch mengatakan, ini adalah salah satu contoh paling spektakuler dari keburukan jurnalisme. Yaitu, jurnalisme yang terburu-buru, tanpa cek silang, tanpa invstigasi mendalam, hanya karena dikejar tenggat waktu. Foto itu ditawarkan hari Jumat yang redaksi hanya punya satu hari untuk meneliti. Tapi, waktu satu hari itu dinilai cukup jika memang jurnalis mau melakukan penelitian mendalam.Pertanyaan mendasar yang harus disampaikan editor foto adalah: Dimana negatif foto perempuan bugil itu?Foto itu diambil 30 tahun lalu ketika Pauline Hanson masih muda. Waktu itu, tentu belum ada teknologi foto digital dan semua foto masih memakai negatif film.Sayang tidak ada pertanyaan semacam itu dari redaktur foto.Redaksi foto The Sunday Telegraph hanya melakukan pengecekan, apakah foto itu merupakan rekayasa digital atau bukan. Dan tentu saja bukan, karena foto itu diambil dari situs porno Rusia, yang kemungkinan kemudian dicetak dan di-scan lagi sebelum dikirim ke redaksi.Bahkan, Padahal News Limited sudah membayar 15 ribu dollar untuk foto itu, alias sekitar 120 juta rupiah. The Sunday Telegraph bahkan tidak mengecek, fakta mengenai hotel tempat pengambilan foto itu. Belakangan terungkap, hotel yang disebutkan Johnson sebagai tempat pemotretan bahkan belum berdiri ketika itu.
Ini adalah kisah jatuhnya jurnalis-jurnalis berpengalaman karena satu frasa yang menakutkan kita semua: Deadline.

Sunday, May 3, 2009

Koran Baru: Masa Depan yang Diperdebatkan

Tahun 2054, surat kabar tidak lagi menggunakan kertas sebagai medianya. Berita, gambar dan iklan telah diantarkan ke pembaca melalui gelombang maya. Pembaca menerimanya dengan perangkat sejenis lap top canggih yang super ringan, super kuat batereinya, sehingga bisa ditenteng kemanapun. Dengan perangkat generasi terbaru ini, kita bisa membaca koran format masa depan dimanapun dengan nyaman, termasuk di kereta yang penuh sesak. Jangkauan internet nirkabel, ketika itu telah menyelimuti seluruh tempat di bumi yang dihuni manusia.
Jangan mengeryitkan dahi dahulu. Gambaran itu hanyalah rekaan sutradara film Steven Spielberg dalam salah satu karya apiknya, Minority Report yang dilakoni aktor utama Tom Cruise. Dalam salah satu adegan, Tom Cruise digambarkan sedang membaca koran USA Today dengan perangkat canggih itu dalam kereta Metro. Surat kabar masa depan tidak akan lagi menggunakan kertas karena mahal dan semakin langkanya kayu. Surat kabar juga tidak lagi memiliki istilah harian, karena beritanya diupdate setiap saat. Wartawan tidak memiliki tenggat waktu tengah malam, karena setiap detik adalah tenggat waktu sebuah berita.
Entah akan seperti itu atau tidak, masa depan media massa , termasuk format, isian, hingga sisi bisnisnya masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Banyak perkiraan menyatakan, era surat kabar cetak akan segera berakhir dengan berkembangnya format digital. Sebuah perusahaan bernama E Ink Corp, saat ini sedang mengembangkan teknologi baru untuk format surat kabar di masa depan itu. CEO nya, Russ Wilcox, pernah mengatakan, format surat kabar baru seperti yang tergambar dalam film Steven Spielberg itu tidak akan muncul tahun 2054, tapi tahun 2015! Jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumya karena pesatya perkembangan teknologi. E Ink sendiri saat ini sedang mengembangkan layar monitor tipis yang berfungsi serupa kertas untuk media cetak.
Untuk Indonesia , kita boleh memundurkan tahun itu sekitar 10-20 tahun karena kemampuan teknologi yang rendah. Tahun 2015, mungkin pengguna internet di Indonesia yang mampu terus online setiap saat belum sampai 25 persen penduduk. Tahun itu, yang hanya tujuh tahun lagi, jelas masih diisi dengan carut marut persoalan bangsa dan tidak jauh dari politik. Kalau ingin cukup percaya diri, kita mungkin berani mengatakan bahwa teknologi itu akan mampu diadaptasi oleh lebih dari separuh penduduk Indonesia sekitar tahun 2040-an.
Gambaran mengenai masa depan surat kabar itu bisa menjadi bahan renungan ketika kita kembali memegang halaman koran baru ini. Koran yang belum sebulan lahir di Jogja, dan menambah sesak peredaran media massa di kota kecil dengan jumlah pembaca yang kecil pula. Tentu saja banyak yang bertanya, apa yang bisa diharapkan dari Jogja, ketika seseorang atau satu pihak mau menaruh modal besarnya di bisnis media di kota ini. Pengalaman membuktikan, surat kabar lahir dan mati seperti mengikuti siklus angin dan gerak hantu; datang berderu, mengagetkan dan kemudian pergi begitu saja sebelum orang sempat memahat namanya.
Ada beberapa catatan yang bisa dijadikan pegangan, bahwa kita layak optimis dengan munculnya surat kabar baru di daerah. Catatan ini merupakan analisa terharap perkembangan surat kabar di tingkat global, dengan prasyarat yang mengikutinya.

Dunia dan Ruang Sempit
Dunia bergerak ke luar mengikuti naluri manusia. Teknologi merobohkan pagar pembatas hingga jarak dan waktu tidak lagi menjadi persoalan. Orang Eropa datang ke China untuk berobat ke ahli akupuntur, sebaliknya banyak pasien dari Asia antri melakukan operasi di rumah sakit ternama Amerika. Negara menjadi sesuatu yang tidak penting karena kita menganggap diri sendiri sebagai warga dunia. Apalagi, Planet Mars sudah dijelajahi, sehingga mungkin suatu ketika kita akan menelepon ke planet Merah itu dengan salam pembuka: “Halo saya Fulan dari Bumi”.
Sebaliknya, media massa justru semakin menyempit menghindar dari tren dunia yang mengglobal. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, surat kabar harian di Amerika, Eropa dan Australia terus mempersempit area cakupan beritanya agar mampu memberikan porsi yang lebih besar bagi wilayah dimana dia terbit. Washington Post kini bahkan 80 persen isinya adalah berita lokal seputar ibukota Amerika. Demikian pula dengan Sydney Morning Herald (SMH) yang sangat pelit dengan berita internasional. Kalau boleh dibilang, SMH benar-benar koran Sydney. Liputan nasionalnya sangat sedikit, sehingga tak ada banyak berita dari kota lain seperti Melbourne , Brisbane , bahkan Canberra yang merupakan ibukota negara.
Media di Indonesia sedang menuju ke arah itu meskipun sangat pelan dan terkesan ogah-ogahan. Baik pemilik modal maupun pengelolanya masih lebih suka menyebut korannya sebagai media nasional. Kelihatan lebih mentereng, lebih bergengsi, meski ongkos dan resiko ambruknya juga jauh lebih besar. Ada pula grup koran yang mempelopori terbitnya edisi lokal, tapi tetap pula yang dijual di halaman depan adalah edisi “persatuan” yang disebut dengan istilah edisi nasional. Mereka belum berani memajang koran edisi lokalnya sebagai daya tarik pembaca di kota-kota kecil.
Namun, itu adalah langkah maju yang sepatutnya diapresiasi. Tidak seperti gaya hidup yang justru mengglobal, masa depan surat kabar justru berada pada keberaniannya untuk terus masuk ke arah lokal. Pembaca akan semakin tertarik dengan apa yang terjadi di sekitar kita, bukan apa yang berada di luar jangkauan. Walaupun dalam beberapa isu, surat kabar daerah masih sering terjebak dengan berita-berita “lokal Jakarta ” tapi dianggap isu nasional. Saya sering heran, banyak koran lokal dulu ikut ribut menulis tentang busway di Jakarta . Mirip dengan liputan televisi nasional yang hampir setiap hari memuat berita tentang busway. Padahal, pembaca atau penontonnya mungkin menggumam: “Busway..? Emang gue pikirin.”
Jadi, kalau ada koran baru terbit di daerah dan memproklamirkan diri sebagai media lokal, maka dia sudah berada di arah yang benar sejak lahir.

Mendorong Bisnis, Melawan Korupsi
Sayangnya, arah yang benar sejak lahir itu tidak cukup untuk membuat sebuah Koran bisa hidup. Media massa adalah juga bentuk bisnis. Untuk bisa hidup, dia harus memutar uang dan menghasilkan laba. Meskipun dibebani berbagai slogan berat, misalnya dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi, media tetaplah memakai hitung-hitungan uang. Berapa yang ditanam, berapa yang masuk setiap bulannya, berapa waktu yang dibutuhkan untuk balik modal, hingga pertimbangan logis apakah sebagai bisnis, sebuah media akan mampu terbit lebih dari setahun atau tidak.
Kalau boleh jujur, jaring laba-laba keuangan di Indonesia adalah persoalan besar bagi kehidupan sebuah media. Uang yang menumpuk di Jakarta , menyebabkan daerah miskin modal, sulit berkembang, terbatas sumber dayanya dan tidak memiliki daya dukung. Maka tidak mengherankan jika media lebih banyak terpusat di Jakarta untuk mendekat ke sumber dana. Lahirlah kemudian persaingan yang teramat keras, untuk mencoba merebut porsi lebih besar di ibukota. Media massa di daerah seperti menjadi penonton saja dalam pertarungan antar Goliath ini.
Selain minimnya daya dukung bisnis, dalam hal ini potensi iklan, media massa di daerah juga dibebani rendahnya minat baca masyarakat yang diperparah oleh rendahnya daya beli. Untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, minyak, atau membayar tagihan bulanan saja sudah susah payah, apalagi harus membaca koran.
Karena merupakan beban bagi media daerah, maka dua persoalan itu juga wajib diselesaikan sendiri, terutama melalui kebijakan masing-masing media. Setiap daerah sebenarnya memiliki daya dukung cukup, minimal untuk mendukung terbitnya lebih dari dua koran lokal. Meskipun ini hanya berdasar asumsi, tapi kenyataan bahwa di setiap kota besar ada lebih dari satu koran yang terbit sudah menjadi bukti dari asumsi itu. Namun, sekali lagi, kondisi itu tidak ideal karena media daerah akhirnya hanya bisa hidup, tetapi tidak cukup sehat untuk menciptakan jaminan bagi dirinya sendiri agar bisa terbit dalam jangka waktu lama.
Karena itu, tantangan besar bagi media daerah baru, seperti halnya Harian Jogja, adalah terus mengupayakan desentralisasi, terutama dalam bidang keuangan. Uang yang menumpuk di Jakarta harus dibawa ke daerah, agar tersedia cukup sumber dana bagi pertumbuhan wilayah. Media lokal harus mendorong keberanian pemerintah lokal untuk bersuara keras menuntut hak pengeloaan keuangan, termasuk menjadi kompor agar lahir terobosan baru di daerah.
Media daerah juga harus lebih peduli terhadap isu-isu pemberantasan korupsi. Daerah yang kental dengan korupsi membuat bisnis tidak berjalan sehat dan pemodal baik-baik cenderung menghindar. Padahal, bisnis adalah sumber utama iklan dan pemodal yang baik, biasanya percaya bahwa bisnis harus didukung oleh iklan. Pemodal yang korup biasanya tidak beriklan, karena dia merasa bisnisnya akan berjalan baik dengan suap, bukan dengan iklan.
Baru-baru ini, televisi ABC memuat sebuah laporan mengenai kasus korupsi di kota tambang terkenal, Wollongong di selatan Sydney , Australia . Kasus korupsi di kota yang punya hubungan khusus dengan Jogja itu dibongkar oleh media lokal disana, melalui laporan-laporan yang tidak terbantahkan. Wartawan surat kabar lokal yang diwawancarai ABC mengatakan, pengungkapan kasus itu penting agar bisnis berjalan baik. Jika bisnis di kota ini baik, kata wartawan itu, media lokal akan terus bisa hidup dan pada gilirannya, wartawan tidak kehilangan pekerjaan. Logika yang sangat tepat meski terkesan didasarkan atas kepentingan sempit.
Jadi, semua kini berada pada kendali redaksi koran baru di Jogja ini. Sebuah pondasi yang kokoh harus dibangun, dan pondasi itu adalah bisnis dan wilayah yang sehat. Pada gilirannya, media daerah akan memetik hasilnya, meski mungkin membutuhkan waktu lama. Pertanyaan terakhir adalah; seberapa lama modal yang ditanam mampu menjamin niat baik itu terwujud, karena pada gilirannya banyak media gugur di tengah jalan karena kehabisan stamina. Semoga tidak terjadi pada Harian Jogja.
Selamat menambah warna baru kota tercinta.

Menyaksikan Koran Mati Pelan-Pelan

Beberapa waktu lalu saya kembali membaca e mail mengenai percikan persoalan buruh pers dengan sang majikan. Kali ini menimpa kawan-kawan di sebuah media di Jakarta, dengan induk perusahaannya. Ringkasan e mail itu adalah, karena sejumlah masalah termasuk tentunya krisis ekonomi, induk perusahaan mereka berniat merampingkan salah satu medianya. Tentu saja, bola salju bergulir ke arah buruh pers-nya. Perampingan berarti PHK, dan PHK membuat orang menjerit sekaligus melawan. E mail itu adalah genderang, bahwa kawan-kawan di bawah grup usaha itu akan melawan.
Ini tentu bukan yang pertama. Seperti juga sektor bisnis yang lain, media juga kena getah krisis ekonomi maupun persaingan bisnis. Tapi ini adalah kenyataan yang harus dihadapi, dan kepada kawan-kawan di bawah grup media itu saya ucapkan selamat datang ke era baru matinya surat kabar cetak.
Kapan Newspaper akan kehilangan kata 'Paper' di dalamnya? Tentu saja ketika kertas tidak jadi medium penyampai sebuah berita. Dan semenjak internet lahir, sudah muncul analisis bahwa media baru ini akan menggantikan atau setidaknya menjadi pesaing kuat bagi media cetak.
Pijakan analisisnya sederhana. Harga kertas akan selalu naik, baik karena terbatasnya sumber daya alam untuk membuatnya, maupun karena kebutuhan manusia yang semakin tinggi. Di Barat, telah lama diterapkan budaya kertas yang memakan jutaan kubik kayu hutan. Mereka membungkus makanan dengan kertas, membawa belanjaan dengan kertas, bahkan menyudahi buang air besar juga dengan kertas.
Jadi koran harus bersaing dengan toilet dalam konsumsi kertas, dan lebih buruk lagi, koran bekas tidak mungkin menggantikan toilet tissue. Jadi tidak ada kemungkinan alih fungsi yang bisa menghemat pemakaian kertas dalam kasus ini.Semua maklum, ketika harga kertas naik, pengusaha media kalang kabut.
Di Indonesia, berapa kali harga koran naik ketika harga kertas koran juga naik? Berkali-kali bukan? Jadi, kita bisa andaikan bahwa di masa depan, harga kertas akan semakin naik dan tentu saja ongkos produksi koran semakin mahal.Dalam jangka pendek, seperti juga sektor yang lain, bisnis koran tak kebal terhadap krisis.
Jadi, kalau wartawan ramai memberitakan adanya PHK besar-besaran di sektor perbankan, tambang ataupun hospitality, mereka juga seharusnya mulai khawatir bahwa tidak lama lagi akan muncul pula berita PHK di sejumlah koran, dan mungkin dia sendiri sebagai penulis berita soal PHK itu juga akan kena PHK. Ini adalah rantai yang saling terkait karena media hidup salah satunya dari iklan, dan sektor-sektor itulah yang mengirim iklan. Jika sektor-sektor itu "sakit", maka dalam waktu tidak begitu lama, sektor media juga ikut tertular.
Dari "luar", bisnis media cetak juga mendapat serangan dari media online.
Anak saya pernah memperoleh buku baru dari Daily Telegraph selama dua minggu penuh dengan cukup membayar 2 dollar saja setiap harinya. Buku ini dicetak ekslusif, empat puluh delapan halaman berwarna. Ibaratnya, Daily Telegraph dan Sunday Telegraph membaginya gratis sebagai madu agar orang tertarik membeli koran karena kalau dibandingkan buku sejenis, mestinya harga buku itu sekitar 10 dollar. Dan ini bukan yang pertama, pernah ada seri DVD dan juga topi Australian Day.
Alasannya jelas. Koran tengah mati-matian mempertahankan pembaca tradisionalnya. Mereka berharap tiras tetap tinggi, dengan demikian pemasang iklan juga setia. Tak masalah memberikan bonus yang harganya jauh lebih mahal dari harga korannya sendiri.
Saya pernah mengikuti sesi pertemuan sejumlah mahasiswa master jurnalistik dengan beberapa wartawan Sydney Morning Herald. Salah satu yang dibicarakan adalah, bagaimana masa depan koran berhadapan dengan media online. Ada tersirat kekhawatiran juga bagi koran Sydney itu bahwa pembaca tradisional mereka cenderung menurun setiap tahun. Sejumlah alasan mendasari fenomena itu, misalnya, untuk apa membeli koran jika kita bisa membacanya secara online dan gratis. Atau, saya tidak berlangganan koran untuk mengurangi konsumsi kertas yang dibuat dari kayu di hutan. Atau, berita online datang lebih cepat, untuk apa menunggu koran yang baru datang besok pagi.
Di letter box di kawasan Sydney bagian utara, saya kerap kali menjumpai tulisan No Manly Daily Please!! Manly Daily adalah harian untuk kawasan utara Sydney dan sejauh ini dibagikan gratis ke rumah-rumah. Dan aneh, begitu banyak orang menolak koran gratisan itu yang bahkan sudah diantar ke depan rumah mereka. Belakangan saya juga mengamati, salah satu majalah bulanan yang datang ke rumah, ternyata makin lama makin tipis. Edisi bulan ini, dalam hitungan saya kira-kira tebalnya hanya separuh dari edisi tahun lalu.
Kalau begini keadaannya, wajar jika koran menjadi bisnis yang mungkin di banyak negara sudah memasuki usia senja. Dan internet yang semakin mudah dan semakin murah diakses menjadi salah satu penyebabnya. Survei menunjukkan, untuk setiap 1 persen penetrasi jaringan internet di suatu kawasan, akan mengakibatkan penurunan oplah koran hingga 0,2 persen.
Dan apa yang akan terjadi jika bisnis koran turun? Tentu saja salah satunya adalah perampingan. Krisis ekonomi dunia, semakin mempercepat fenomena PHK di sektor ini. Tengok saja, di tahun 2008 lebih dari 15.608 buruh media di Amerika Serikat di-PHK, dan di Bulan Januari 2009, setidaknya 2.308 pekerja media disana kehilangan pekerjaan.
Mungkin memang sudah waktunya semua harus berubah. Bandingkan saja dengan bagaimana cara orang menikmati musik. Awalnya kita mengenal piringan hitam dan gramaphone, yang kemudian mulai berubah ketika Phillip memperkenalkan kaset pada tahun 1963. Kejayaan kaset diwarnai dengan tape pemutar yang sebesar meja hingga sekecil Walkman. Era ini berakhir dengan berkembangnya CD mulai tahun 90-an, dan kemudian sekarang kita memakai MP3-MP4 player atau iPod.
Kita mengenal Acta Diuma, yang mungkin jadi media massa pertama karena lahir tahun 59 sebelum masehi, bahkan ketika kertas belum ditemukan. Tahun 1605, koran pertama kali lahir di Jerman ketika Johamm Carolus mencetak Relation. Tahun ini, umur koran sudah 403 tahun. Mungkin memang sudah cukup uzur dan tiba waktunya untuk pelan-pelan turun panggung. Akan ada teknologi baru yang menggantikan media yang sudah kita pakai lebih dari empat abad ini.
Dan, karena dunia di luar saja terus berubah, mungkin para wartawan mesti bersiap untuk juga berubah. Tentu bukan berubah profesi, cukup menggali kemungkinan untuk tetap bertahan di bidang ini.

jurnalis dan kebebasan

Jurnalis, Penipu, Deadline

Ini adalah kisah, dimana pengalaman jurnalistik yang luas dan senioritas kadang kalah oleh ketergesaan akibat tenggat waktu. News Limited, penerbit besar yang antara lain menaungi The Telegraph dan The Sunday Telegraph terancam gugatan besar. Editornya bahkan terancam dipecat.Kisah bermula dari kontak Jack Johnson, seorang pensiunan tentara Australia dengan paparazzi Jamie Fawcett. Johnson menawarkan sejumlah foto bugil seorang gadis yang dia katakan bernama Pauline Hanson. Fawcett tertarik karena foto itu beraroma duit besar. Pauline Hanson sedang maju dalam pemilihan senat negara bagian Queensland. Tentu saja, jika benar itu foto Pauline Hanson, aroma politik yang sedang hangat akan menambah nilai jualnya. Johnson mengatakan, foto itu dia ambil di sebuah hotel di Queensland.Fawcett kemudian mengirim Frank Thorne, seorang jurnalis freelance di Sydney untuk mewawancarai Johnson mengenai detil foto itu, termasuk dimana dia memotret sang perempuan. Dalam wawancara 45 menit, Johnson antara lain juga menyebut bahwa dia juga memiliki foto setengah bugil istri perdana menteri Australia.Thorne langsung mengakhiri wawancara dengan Johnson dan yakin bahwa persiunan tentara itu pembohong. Wawancara dilakukan Jumat, 13 Maret.News Limited, penerbit koran kawakan dengan jurnalis-jurnalis hebat itu, tidak melakukan apa yang Thorne lakukan, re-cek.Fawcett, sang paparazzi, mengirim e mail berisi foto Pauline Hanson tanggal 14 Maret. Dalam waktu kurang dari dua jam, The Sunday Telegraph merespon dan tertarik membeli foto itu. Dan koran The Sunday Telegraph memasang besar-besar foto-foto itu, Minggu 15 Maret.Selama seminggu persoalan ini bergulir, sampai kemudian semua tahu bahwa foto bugil perempuan itu kemungkinan besar diambil dari situs porno Rusia. Dan News Limited terancam gugatan ratusa ribu atau bahkan jutaan dollar Australia.Neil Breen, Editor edisi minggu itu terancam dipecat.
Media Watch mengatakan, ini adalah salah satu contoh paling spektakuler dari keburukan jurnalisme. Yaitu, jurnalisme yang terburu-buru, tanpa cek silang, tanpa invstigasi mendalam, hanya karena dikejar tenggat waktu. Foto itu ditawarkan hari Jumat yang redaksi hanya punya satu hari untuk meneliti. Tapi, waktu satu hari itu dinilai cukup jika memang jurnalis mau melakukan penelitian mendalam.Pertanyaan mendasar yang harus disampaikan editor foto adalah: Dimana negatif foto perempuan bugil itu?Foto itu diambil 30 tahun lalu ketika Pauline Hanson masih muda. Waktu itu, tentu belum ada teknologi foto digital dan semua foto masih memakai negatif film.Sayang tidak ada pertanyaan semacam itu dari redaktur foto.Redaksi foto The Sunday Telegraph hanya melakukan pengecekan, apakah foto itu merupakan rekayasa digital atau bukan. Dan tentu saja bukan, karena foto itu diambil dari situs porno Rusia, yang kemungkinan kemudian dicetak dan di-scan lagi sebelum dikirim ke redaksi.Bahkan, Padahal News Limited sudah membayar 15 ribu dollar untuk foto itu, alias sekitar 120 juta rupiah. The Sunday Telegraph bahkan tidak mengecek, fakta mengenai hotel tempat pengambilan foto itu. Belakangan terungkap, hotel yang disebutkan Johnson sebagai tempat pemotretan bahkan belum berdiri ketika itu.
Ini adalah kisah jatuhnya jurnalis-jurnalis berpengalaman karena satu frasa yang menakutkan kita semua: Deadline.

Jurnalis dan HAM

Peran Media (Jurnalisme)

dalam Advokasi Hak Asasi Manusia


Di penghujung kekuasaan seorang (penguasa) tiran, sejumlah aktivis pro demokrasi hilang. Para aktivis hak asasi manusia mencari jejaknya. Sekelompok jurnalis mulai menggoreskan penanya. Sejak itu, hari demi hari, koran, televisi, radio, hingga situs berita dipenuhi kabar tentang penculikan para aktivis itu. Maka terbongkar lah drama penculikan sejumnlah aktivis oleh sang tiran.

Itulah potongan gambar yang mengisahkan keberhasilan Munir bersama tim Kontras dalam membongkar kasus penculikan sejumlah aktivis. Ada satu hal yang tak bisa diabaikan dalam proses tersebut, yaitu peran jurnalis dan medianya. Lewat pemberitaan yang cukup intens dan manajemen informasi yang cukup bagus dari tim Kontras, tak banyak pilihan lain bagi tentara yang menculiknya, kecuali mengakui penculikan itu. Kisah di atas barangkali bisa menjadi salah satu contoh mengenai keberhasilan media dalarn melakukan advokasi hak asasi manusia lewat pemberitaannya.

Berbicara perkara media/jurnalis dan hak asasi manusia, sedikitnya ada dua peran yang bisa dimainkan media dalam masalah hak asasi manusia. Perlama adalah peran pendidikan. Dalam konteks ini, seperti pernah diutarakan oleh Kayoko Mizuta dalam pidato sambutan untuk seminar "Media and Human Rights Reporting on Asia's Rural Poor" pada 1999, bahwa media dapat meningkatkan pemahaman warga negara mengenai hak asasinya dengan menyediakan informasi soal hak asasi manusia. Media juga dapat menancapkan nilai-nilai dan sikap dengan mempromosikan kultur hak asasi manusia, serta mendorong warga negara untuk mempertahankan hak asasi manusia dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia”.

Kedua adalah peran monitoring. Cara ini bisa dilakukan dengan memantau kinerja negara (pemerintah) dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negaranya. Terutama terhadap implementasi berbagai instrumen internasional hak asasi manusia yang telah diratifikasi. Apabila sebuah instrumen HAM belum diratifikasi, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), maka media dapat mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi dengan memberitakan berbagai kasus yang memberikan konteks bagi pentingnya ratifikasi.

Kedua peran penting itulah yang agaknya membuat jurnalis ditempatkan dalam posisi sebagai pembela hak asasi manusia (human rights defender) bersama-sama dengan aktivis HAM dan pengacara. Namun posisi itu pula yang acap menyebabkan jurnalis juga menjadi korban pelanggaran HAM. Di beberapa tempat di Indonesia sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan aparat ketika menjalankan tugasnya. Bahkan sampai kehilangan nyawa seperti dalam kasus Udin. Namun terkadang problemnya adalah karena ketidakpahaman jurnalis sendiri mengenai persoalan HAM. Singkatnya, ada banyak problem baik yang bersifat internal maupun eksternal yang dihadapi media/jurnalis ketika menjalankan perannya tersebut.

Beberapa Masalah Penting

1. Salah satu masalah yang dihadapi oleh jurnalis dalam peliputan masalah HAM adalah kurangnya pemahaman mereka mengenai berbagai aspek mengenai HAM itu sendiri. Hal ini misalnya tampak dalam beberapa pelatihan "Jurnalisme Perspektif HAM" di Aceh, Banjarmasin, dan Kendari yang pernah diselenggarakan oleh LSPP. Membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mendiskusikan bahwa konteks pelanggaran HAM adalah ketika negara yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak warganegaranya lalai menjalankan kewajiban itu. Akibatnya dalam diskusi dan juga dalam pemberitaan sering muncul pemberitaan contohnya "Masyarakat Melanggar HAM Polisi"

Para jurnalis juga tampaknya kurang familiar terhadap berbagai instrumen internasional mengenai hak asasi manusia yang sebenarnya bisa menjadi perspektif dalam melihat subjek berita. Apalagi sejumlah konvensi yang sudah diratifikasi seperti Konvensi Hak Anak, Konvensi Antidiskriminasi Perempuan, dan Konvensi Antidiskriminasi Rasial sebenarnya sudah menjadi sumber hukum resmi yang bisa dijadikan rujukan untuk monitoring. Karena itu pula berbagai pemberitaan mengenai kasus perempuan yang maksudnya untuk advokasi maiah melecehkan perempuan. Demikian puia berita kasus kerusuhan rasial malah jadi rasialis.

Yang masih terkait dengan soal pemahaman adalah kebingungan di mana sebenarnya terdapat masalah-masalah HAM. Ini berkaitan dengan bagaimana menerjemahkan konsep dalam berbagai instrumen HAM ke dalam fokus-fokus liputan. Misalnya, masalah hak anak atas identitas yang merupakan hak pertama dalam Konvensi Hak Anak itu problem dilapangannya seperti apa?, misalnya. Padahal di situ banyak masalah seperti pelarangan penggunaan nama keluarga (marga) dalam akta kelahiran.

2. Masalah kedua yang dihadapi para jurnalis dalam peliputan masalah HAM adalah lemahnya ketrampilan teknis Jurnalisme. Padahal berbagai kasus pelanggaran HAM seringkali terjadi di bawah permukaan dan karenanya membutuhkan teknik investigasi untuk pengungkapannya. Namun tak banyak jurnalis memiliki ketrampilan yang cukup untuk melakukan investigasi. Sebab untuk teknik Jurnalisme dasar pun banyak yang masih masalah. Akibatnya, banyak jurnalis yang menggunakan sumber sekunder untuk bahan beritannya. Sayangnya sumber sekunder yang dominan digunakan adalah justru para pejabat yang justru rnenjadi pelaku pelanggaran HAM. Akibatnya berita mengenai pelanggrn HAM bukan dari perspektif korban tapi dan perspektif pelaku.

3. Kepentingan ekonomi dan politik (pemilik) media juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemberitaan HAM yang bias pelaku pelanggaran. Di beberapa media terutama media lokal birokrasi pemerintah dan militer adalah pasar terbesar yang menyerap tiras media mereka. Bahkan seringkali para politisi juga menjadi pengelola media. Akibatnya media tidak bisa lagi berperan dalam monitoring HAM.

4. Banyak jurnalis terjebak ilusi objektivitas dan netralitas Jurnalisme. Ini pengaruh positivisme dalam Jurnalisme yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan dari tingkat kursus sampai pascasarjana. Fatwanya adalah jurnalis tidak boleh memihak. Dalam kasus pemberitaan HAM ini jadi masalah. Sebab pandangan seperti itu mengabaikan reiasi antar pihak yang daJam pelanggaran HAM itu ada pelaku dan korban.

Tentu masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi masalah dalam peliputan HAM. Bagaimana upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut agar media bisa menjadi alat advokasi HAM yang efektif? Hal-hal ini lah yang perlu menjadi perhatian kita bersama.