Powered By Blogger

Sabtu, 06 Februari 2010

Antara Dialektika Negara dan Kebudayaan

”Kebudayaan bukan semata-mata warisan (Heritage) yang sah dari suatu masyarakat, karena Kebudayaan adalah seni hidup itu sendiri (the art of living)” -Gus Dur-

Tengara Gus Dur ini, serasa mengingatkan kembali betapa vitalnya isu kebudayaan ditengah berkecambuknya krisis pemikiran yang melanda kehidupan berbangsa dewasa ini. Ucapan Gus Dur ini dikemukakan kala menyinggung peran Negara terhadap keberlangsungan budaya bangsa. Memang terlihat tiada yang salah dari langkah yang ditempuh negara sebagai institusi tertinggi guna menentukan keputusan-keputusan operasional terkait kehidupan berbudaya bangsa ini. Namun, dari titik ini Gus Dur melihat pertentangan yang cukup memprihatinkan. Pada dasarnya kebudayaan merupakan kehidupan sosial bermasyarakat yang tumbuh dari saling adanya interaksi antar komponen dan elemen yang ada, meskipun demikian, kebudayaan bukan suatu harta untuk diwariskan (heritage) kepada generasi selanjutnya, karena warisan pada hakekatnya mengacu kepada suatu benda mati, sedangkan kebudayaan hanya menjadi kebudayaan kalau ia hidup dan mengacu kepada kehidupan.
Karena itu, mendengar adanya peran signifikan Negara dalam mensponsori keberlangsungan kebudayaan negeri ini. Penulis pun merasa ada kecacatan akan hal ini, kebudayaan sepatutnya dan selayaknya tidak menjadi political gimmick suatu badan depertemen pemerintahan tertentu, padahal kebudayaan tidak bisa ditafsirkan sepihak untuk semata-mata memberikan tekanan pada kesenian, kesusastraan, bahasa, dan apa saja yang memihak estetika sebagai estika belaka.
Karena pada hakekatnya Kesenian dan karya sastra sebagai karya estetika demi membersihkan nurani suatu masyarakat (katarsis sosial dan politik) dan menjadi wahana mengakomodasi perubahan kultural adalah bagian dari kultur. Demikian pula halnya dengan bahasa, sebagai alat berfikir adalah bagian dari kultur, tetapi, bahasa yang dilihat hanya sekedar sebagai technically yang memberikan peluang bagi penentu ”policy bahasa” adalah proses birokratisasi alat berfikir. Proses bahasa yang demikian adalah akultural.
Kemudian dimana letak kekhawtiran Gus Dur terhadap peran Negara menyangkut kehidupan berbudaya. Jikalau kita mau memandang hal ini secara tajam dan telaah kajian komprehensif-integratif maka dapat tergambarkan bahwa birokratisasi cenderung menyeragamkan derap kehidupan masyarakat, dan ini indikator adanya kecenderungan untuk mengubah kebudayaan dari emansipasi suatu bangsa kepada pembekuan daya cipta bangsa itu sendiri yang sedang berada ditengah perubahan besar-besaran secara sosial dan ekonomi. Sejauh yang menyangkut kehidupan bernegara (statecraft) seluruh kehidupan sebenarnya sudah dikuasai oleh negara sepenuhnya.
Di dalam cara melihat yang membedakan atau mempertentangkan antara negara dan masyarakat, maka kultur adalah sepenuhnya menjadi tanggungjawaab suatu masyarakat dan selayaknya tidak menjadi wewenang negara sebagaimana saat ini, kebudayaan diletakkan dipundak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Cara memandang seperti ini tidak bisa tidak harus dianut, karena adanya perbedaan mendasar dalam daya perekat masyarakat dan negara. Masyarakat mengambil kultur sebagai daya perekatnya sedangkan negara mengambil kekuasaan sebagai daya perekatnya dan dengan kekuasaan pula negara mengikat berbagai bidang lainnya.
Dalam hubungan ini kebudayaan terlalu besar, terlalu penting, dan terlalu hakiki untuk dipikul beban tanggungjawab kepada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata semata. Kultur seharusnya menjadi tugas utama masyarakat untuk memperkuat sendi dan pilar tatanan kehidupan masyarakat tersebut. jika hal ini teracuhkan dalam kesadaran berbudaya bangsa ini, maka gaung pencerahan (enlightement) terasa bak fatamorgana ditengah gersangnya pemikiran budaya bangsa ini dan proses stultifikasi (proses pembekuaan) pun menggurita nan merajalela, dimana manusia Indonesia tidak dididik untuk pemenuhan kepribadiaanya, namun dididik menjadi robot-robot yang a-kultural, terkikis dari dasar-dasar untuk menjadi pribadi yang berkultural. Pada akhirnya hanya akan menghasilkan ”kebudayaan semu” yang tidak bakal langgeng.

Jumat, 15 Januari 2010

kuis kebahagiaan

Kebanyakan dari kita ternyata diam-diam suka mengisi kuis-kuis, baik itu kuis tentang kehidupan percintaan, keuangan, maupun tentang pilihan liburan yang kehidupan paling menyenangkan. Inilah kuis tentang kebahagiaan yang saya buat untuk anda. Saya telah mengujicobakan kuis ini pada beberapa patner saya dan kebanyakan hasilnya seperti yang saya perlukan, karena pertanyaan-pertanyaan menyangkut seluruh aspek kita.
Dengan mengisi kuis ini, anda tidak hanya akan mendapatkan ide yang lebih baik tentang bagaimana bahagia dan tidak bahagianya anda, tetapi anda juga akan menemukan bagian mana dari kehidupan anda yang paling bermasalah.
Beberapa bagian dari kuis ini mungkin tidak sesuai dengan anda. Sebagai contoh, anda mungkin tidak mempunyai anak atau saudara-saudara, sementara orang lain yang membaca kuis ini mempunyai keduanya. Tetapi itu tidak menjadi masalah, jawab saja seluruh pertanyaan yang anda bisa dengan memberi tanda pada salah satu dari tiga pilihan jawaban, yaitu tidak pernah, kadang-kadang, atau sering.


Tabel 1 : Kuis Tentang Kebahagiaan

No. Bagian (a) Suasana Hati secara umum Tidak Pernah Kadang-kadang Sering
1. Apakah Anda merasa tidak bahagia?
2. Apakah Anda merasa bahwa hidup berlalu begitu saja meninggalkan anda?
3. Apakah Anda merasa bahwa hidup ini tidak adil bagi Anda?
4. Apakah Anda merasa bahwa hidup terlalu banyak membutuhkan usaha?
5. Apakah Anda merasa tidak mempunyai kemampuan untuk merasakan sesuatu, baik itu bahagia atau tidak bahagia?
6. Apakah anda merasakan persaan putus asa?
7. Apakah Anda pernah merasa bahwa orang-orang disekitar anda akan menjadi lebih baik jika anda tiada?
8. Apakah anda merasa untuk meniadakan diri anda sendiri ditengah hiruk-pikuk kehidupan anda?
9. Apakah anda bosan dari kehidupan anda?
10. Apakah cuaca buruk membuat hati anda gundah?
11. Apakah anda pernah berfikir akan mengalami depresi berat atas permasalahan yang sedang anda hadapi?
12. Apakah anda banyak menghabiskan waktu sendirian?
13. Apakah anda lebih senang berkomunikasi melalui internet, telpon, dibandingkan bertatap muka secara langsung?
14. Apakah anda sulit mengendalikan emosi dan amarah anda?
15. Apakah anda mudah tersinggung?
16. Apakah anda sulit untuk berkonsentrasi?
17. Apakah anda mudah panik?
18. Apakah tidur anda selama ini tidak nyenyak?
19. Apakah anda perokok berat?
20. Apakah anda terlalu banyak tidur namun sedikit aktivitas?
Sekarang bila anda telah menyelesaikan mengisi kuis ini, saya sarankan anda untuk merenggangkan tubuh anda, sembari menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Karena anda telah mencoba jujur terhadap kondisi diri anda sendiri yang selama ini mungkin anda tutupi didepan pergaulan anda.
Saya bisa berkata bahwa inilah wajah sebenarnya dari diri anda (jika anda jujur mengisinya) yang selama ini tertutupi oleh perasaan anda. Baiklah, bila anda sudah siap, saya ingin anda melakukan satu hal sebelum kita bersama melanjutkan untuk melihat pada tanggapan anda. Saya ingin membaca sekilas mengenai penilaian anda terhadap kuis ini.
Tentang bagaimana anda merasa dan bagaimana anda kelihatan di mata orang lain. Dan jika anda menjawab”sering” pada sejumlah pertanyaan kuis ini, anda bukan hanya tidak terpuaskan, tetapi juga menunjukan gambaran yang buruk tentang diri anda sendiri pada rekan-rekan kerja, teman-teman, maupun keluarga anda.
Sebenarnya jika anda menjawan ”sering” pada pertanyaan 7,8 dan 15 anda mungkin memerlukan sedikit bantuan daripada yang dapat saya berikan sendiri pada anda. Jawaban anda mengambarkan anda sedang mengalami depresi, meskipun demikian, saya tetap yakin bahwa anda nantinya mampu mngubah kondisi kejiwaan anda. Dengan sedikit kemauan dari diri anda sendiri. Akan tetapi, mayoritas dari orang depresi sebenarnya tidak sakit (dari kacamata medis) melainkan perasaan manusiawi dari psikologi manausia yang membutuhkan sebuah makna dari kebahagiaan.
Saya akan memberikan beberapa hal penting mengenai fakta tentang kebahagiaan.
• Kebahagiaan merupakan sesuatu yang bisa kita usahakan.
• Kebahagiaan merupakan suatu keterampilan
• Kebahagiaan bisa menjadi suatu kebiasaan.
• Kebahagiaan seringkali merupakan sebuah pilihan.
• Kebahagian muncul dari andanya rasa tanggungjawab atas hidup kita.
• Kita bertanggung jawab untuk memperoleh kebahagiaan.
• Kebahagiaan bisa mempengaruhi orang lain.
• Kebahagiaan membuat anda tampak lebih muda.
• Kebahagiaan membuat anda tampak lebih menarik.

Rabu, 13 Januari 2010

Cerminan Diri

“Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Mengajak tanah.
Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Menagjak Air.
Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Mengajak Musim.
Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Mengajak Pohon.
Engkau Hanya Menanam, Dirimu Sendiri”
(Mustofa W. Hasyim)

Pekerjaan yang paling digemari oleh bangsa Indonesia saat ini adalah berbicara, sekaligus yang tidak suka dilakukan adalah bercermin. Setiap orang boleh setuju dan boleh juga tidak setuju dengan pernyataan itu. Namun, saya memiliki argumentasi yang, paling tidak dapat kita diskusikan sebagai bahan intropeksi diri.
Bercermin punya makan jamak tidak tunggal. Secara fisik, berarti membuat orang ”tahu rupa diri” apakah dia bersih atau kotor, sudah rapi atau masih kusut, apakah tampilannya sudah oke atau belum. Pendek kata, dengan bercermin, seseorang akan tampak tampan, anggun, kelihatan elok rupawan.
Namun, bercermin juga punya arti maknawi, yang jauh lebih dalam dari sekedar tahu rupa diri. Dalam pemahaman ini, bercermin membuat orang ”tahu diri” baik secara fisik maupun nonfisik. Seperti ungkapan orang Sumbawa ”to diri” tahu diri sangat bermakna dalam. Orang Jawa bilang ”kulo niki sinten” saya ini siapa. Dan, inilah sesungguhnya yang sulit dilakukan oleh tiap manusia, masyarakat, maupun pribadi yanitu menjadi orang yang tahu diri.
Dalam wilayah demokrasi, kita kerap tak butuh pemimpin besar, melainkan cukup orang tahu diri. Jangan heran ketika Nelson Mandela berhenti menjadi presiden ketika punya pesaing berarti. Ia tahu diri, mengakhiri kekuasaan yang bisa dibikin panjang, bahkan mungkin sampai ajalnya, tapi ia tunduk pada kepentingan yang lebih besar, mengembangkan demokrasi di Afrika Selatan.
Atau banyak deretan kisah lain yang menjadi teladan demokrasi. Richard Nixon tahu diri, ia mundur sebelum di-impeach kongres AS karena skandal Water Gate yang memalukan. Atas nama demokrasi, Corry Aquino merasa cukup menjadi presiden Filipina satu periode jabatan. Ia bahkan aktif memasukan satu periode jabatan presiden dalam konstitusi negaranya. Contoh lain Mahathir Muhammad, tokohnya pembaharu Malaysia, berhenti diujung senja jabatannya sebagai perdana menteri Malaysia, karena ia tahu diri. Hal serupa juga dilakukan oleh Lee Kwen Yew dari Singapura, negeri tetangga kita.
Di Indonesia, teramat langkanya, orang-orang tahu diri kerap membuat kita terharu. Begitulah Mohammad Hatta, kembali memory kita terulang dimasa nan silam dengan takzim ketika mundur dan mengakhiri dwitunggal Soekarno-Hatta, yang mengrogoti penyakit keserakahan Soekarno. Prof. Harun Al, Rasyid membuat kita lega ketika berhenti dari wakil Ketua KPU di saat banyak koleganya disana terlelap dan ter-ninabobo-kan oleh kubangan lumpur korupsi.
Dan, Soeharto gagal menjadi orang besar, antara lain karena ia tak tahu diri. Ia diakui dunia sebagai politisi piawai yang pandai membuat kekuasaannya bernafas panjang, tetapi terjerambah di penghujung masa jabatannya. Karena ia tak tahu diri, ia salah Kalkulasi kapan seharusnya berhenti.
Lalu, siapakah orang-orang yang tahu diri itu? Buat saya adalah mereka yang ”punya cermin” dan ”bisa bercermin”. Ia pun bisa menakar kapasitas dan otentitas dirinya. Neraca cermin inilah yang dijadikan bingkai dalam tiap perangai dan lakunya. Orang tahu diri, sangat memahami bahwa seorang besar bukan karena berkuasa tetapi karena bisa membuat kekuasaan sebagai perkara kecil dan biasa.

Senin, 11 Januari 2010

kehidupan jurnalis

Betapa seringnya kita mendengar pepatah yang mengatakan ‘Waktu Adalah Uang. Tapi sebenarnya berapa banyak diantara kita yang benar-benar dapat memanfaatkan waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya? Sebenarnya, jika Anda ingin mengatur kehidupan Anda dan membuatnya menyenangkan, sebagai permulaan yang Anda butuhkan adalah mengatur waktu Anda. Tak perlu dipertanyakan lagi, pengaturan waktu yang efektif merupakan hal mendasar untuk lingkup berbagai wilayah kehidupan. Pada kenyataannya, seringkali terdapat perbedaan antara pencapai kehidupan sejati dan orang-orang yang, meski sibuk, tak pernah sampai pada titik dimanapun.

LECTURE RESUME – Tak mengejutkan kalau dalam seluruhan industri pengaturan waktu jadi sebuah kebutuhan. Tapi jika Anda meninjau lebih dalam, Anda akan dapat melihat bahwa sebenarnya pengaturan waktu tak jauh beda dengan manajeman diri. Karena pada kenyataanya, Anda tak dapat mengatur waktu, tapi Anda dapat mengatur diri sendiri dan apa yang Anda lakukan dalam setiap kesempatan.


Kebanyakan ahli sepakat bahwa sukses merupakan hasil dari kebiasaan. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperlancar bagaimana Anda menggunkan waktu, yakni dimulai dengan kebiasaan Anda (kontrol diri). Dan kebiasaan ini dimulai sebagai pembuatan keputusan secara sadar.

Sekali Anda bisa, seterusnya kebiasaan bagus ini jadi hal alami. Dalam banyak kasus, sukses bukan dihasilkan dari hal yang tak biasa, tapi lebih sebagai hasil dari kemampuan seseorang untuk ‘menguasai keduniawian’. Dengan konsisten menampilkan seluruh tugas penting yang belum sempurna, sejalan dengan waktu aktivitas ini akan berubah jadi pencapaian besar.Berikut beberapa aturan sederhana yang dapat diikuti untuk melakukan pengaturan waktu yang lebih baik:

1. Jangan Menangguhkan. Lakukan saat ini juga
Saat orang menunda sesuatu, itu berarti membunuh daya gerak pencapaian pada tujuan saat ini dan menghalangi kesempatan di masa mendatang lantaran waktu yang tersumbat. Cara untuk mencegah penundaan adalah dengan merancang deadline untuk tujuan yang harus dicapai. Menghindari deadline terakhir membawa penundaan yang diatur tujuan sebagai perantara untuk mencapai setingkat demi setingkat menuju tujuan.

2. Lacak Aktivitas Anda
Memori adalah penuntun yang payah, jika ini berhubungan dengan menetapkan bagaimana Anda melewatkan waktu Anda. Cara terbaik untuk merekam aktivitas Anda sepanjang hari adalah dengan mendata apa yang Anda lakukan. Kebanyakan orang akan menemukan kalau mereka memiliki tiga jam dalam tiap hari yang sebenarnya dapat digunakan untuk hal yang lebih membangun atau tindakan yang efisiean. Kurangi waktu yang Anda gunakan untuk bertelepon, membolak-balik majalah atau surfing di web yang tak mengahasilkan apapun, dan batasi kegiatan-kegiatan yang tak penting.

3. Berkonsentrasi Pada Hasil
Banyak orang melewatkan waktu mereka sepanjang hari dengan aktivitas yang hiruk-pikuk, tapi hanya sedikit membuahkan hasil. Itu semua terjadi karena mereka tak berkonsentrasi pada hal yang benar. Jangan terkecoh antara bekerja secara efisien dan bekerja secara efektif. Aktivitas dapat memang kadang dapat membebaskan dari tekanan tapi itu tak mencapai tujuan Anda. Dengan lebih berkonsentrasi pada sedikit preoritas ‘utama’ secara teratur. Anda dapat mencapai lebih banyak hal dalam waktu singkat.

4. Ingat Prisip 80/20
20% kunci aktivitas Anda akan memberi Anda 80% dalam bentuk hasil. Tujuan Anda adalah mengubah ini untuk memastikan kalau Anda berkonsentrasi sebanyak usaha yang mungkin Anda lakukan untuk hasil tertinggi dari tujuan.

5. Gunakan Waktu Perjalanan Dengan Bijaksana
Sangat mudah untuk mengabaikan waktu yang dilakukan untuk menempuh perjalanan dalam penafsiran manajeman waktu. Pertimbangkan dengan hati-hati apakah ini merupakan waktu yang sesuai dimana Anda dapat juga menggunakannya secara lebih produktif. Sebagai contoh, jika Anda memilih naik bus atau kereta untuk menuju tempat kerja, apakah ini menyediakan kesempatan untuk membuat penggunaan waktu Anda jadi lebih baik? Atau jika Anda nyetir sendiri, apa Anda bisa mendengarkan rekaman pendidikan atau motivasional yang dapat membuat Anda memperbaiki ketrampilan dan lebih produktif?

6. Bangun Rancangan Aksi
Sebuah rencana tindakan merupakan daftar pendek dari tugas yang harus dilengkapi untuk mencapai sebuah tujuan. Ini beda dengan To Do list dimana fokus utmanya adalah pencapaian tujuan, (dan langkah untuk mencapainya secara spesifik) dari pada hanya membuat tujuan untuk dicapai dalam periode waktu. Kapanpun Anda ingin mencapai sesuatu, buat gambaran gambalng dari rencana tindakan, ini akan memberi Anda kesempatan untuk lebih berkonsentrasi pada tahap pencapaian itu, dan memonitor kemajuannya dalam perwujudan.

7. Merespon Dengan Cepat
Sebagai contoh, urus mail Anda begitu Anda menerima surat. Jangan biarkan tagihan dan surat-surat itu membebani Anda. Jika Anda tak bisa membalas sebuah surat saat itu juga, buat file di tempat khusus yang mudah dilihat, dan tuliskan di amplop tindakan yang dibutuhkan serta tanggal dimana Anda dapat menyelesaikannya.Ketika memungkinkan, lakukan tindakan pada hari yang sama saat Anda menerimanya. Jangan biarkan komputer, meja dan pikiran Anda jadi bertumpuk dengan hal yang tak berguna.

8. Bersikap Tegas
Belajarlah berkata tidak pada orang lain. Waktu Anda sangat berharga. Jadi jangan biarkan orang lain menentukan atau memanfaatkan Anda untuk kepentingan rencana mereka. Batasi gangguan sebisa mungkin. Tutup pintu Anda, matikan nada dering telepon atau minta dengan terus terang agar Anda tidak diganggu.

9. Jadwalkan Waktu Untuk Bersantai
Saat Anda mengatur waktu dan bisnis Anda, pastikan untuk menyisihkan saat untuk bersantai.

Tugas pertama Anda untuk dapat mengatur waktu dengan lebih baik adalah membuat mendaftar seberapa banyak waktu yang Anda buang sia-sia selama sehari, dari sana atur ulang aktivitas Anda untuk melakukan yang lebih maksimal dalam setiap menit. Lebih dari segalanya, berpegangteguhlah pada rencana Anda. Jadwal yang Anda buat hanya dapat terlaksana dengan benar hanya jika Anda keukeh dengan itu. Nah, dengan mengikuti tips ini kami harap Anda akan memiliki lebih banyak ruang untuk melakukan hal-hal yang ingin Anda capai dalam hidup Anda

Rabu, 06 Januari 2010

about jurnalis 2

Seorang kawan—ia penulis, pernah menjadi wartawan di sebuah majalah nasional—menulis di Facebook-nya: ”Jurnalis juga bisa (menulis) akademik!” Ia kesal gara-gara, dalam sebuah forum diskusi, seorang perempuan bergelar doktor berkata dengan nada ketus, ”Jurnalistik itu tidak akademis.” Dalam benak si doktor, seorang jurnalis tidak mampu menghasilkan tulisan serumit karya akademik.

Saya tergoda untuk menghibur sekaligus mengoreksi anggapan keliru kawan saya dengan menulis tanggapan: karya jurnalistik selamanya memang bukan tulisan akademik. Anggapan sang doktor tidak salah, kawan. Ia hanya kurang luas pengetahuannya, sehingga tidak bisa menempatkan kedudukan tulisan akademik dan jurnalistik secara proporsional.

Tulisan akademik dan jurnalistik berada di ranah berbeda; tentang kepada siapa masing-masing jenis karya tulis itu didedikasikan. Namun, dalam hal validitas tulisan sebagai karya yang bisa diakses publik, keduanya memiliki pertanggungjawaban moral yang kurang-lebih sama.

Fenomena ”ketegangan” antara kalangan akademikus dan jurnalis sudah lama berlangsung. Sering dijumpai, seorang akademikus (peneliti, dosen) memandang tulisan jurnalistik sebagai karya yang tidak serius dalam membahas satu persoalan.

Sumber ketegangan itu juga berasal dari perbedaan dalam pilihan bahasa. Tulisan akademik wajib menggunakan tata bahasa baku-formal yang cenderung kaku dan datar. Isi tulisannya fakultatif. Pilihan-pilihan terminologi ”boleh” saja tidak dimengerti awam.

Sedangkan jurnalistik berbahasa populer, lugas, padat, dan informatif, karena ia didedikasikan kepada publik pembaca yang heterogen. Ia merupakan tulisan yang hidup sesuai dengan dinamika masyarakatnya, seperti terbaca pada angle tulisan.

Demi kelugasan sebuah artikel jurnalistik, penyebutan gelar akademik seseorang tidak diperlukan. Tapi keterangan bidang otoritas narasumber tetap diutamakan, dan cukup disebut hanya satu kali dalam satu artikel. Karena itu, tak aneh bila seorang wartawan senior harus memarahi redaktur yang tidak menambahkan keterangan ”ahli ulat sutra”, misalnya, sebagai anak kalimat dari Profesor X.

Dalam hal penggunaan bahasa populer, media massa pernah menuai kritik dari kalangan akademikus sebagai perusak bahasa Indonesia nomor satu. Memang, banyak penulisan artikel di surat kabar yang tidak bertata bahasa baku, atau sering berstruktur kalimat tidak sempurna. Mengatakan masa tenggat yang sempit dalam proses penulisan artikel jurnalistik adalah sebuah keculasan. Sebab, berbahasa populer tidak identik dengan menulis tata bahasa yang ngawur. Setiap wartawan berhak mencatat kritik di atas.

Sejatinya, karya jurnalistik selalu dijiwai logika berpikir ilmiah, dan untuk itu diperlukan kutipan seorang akademikus (ahli), misalnya. Dan karya akademik adalah bahan bacaan penting bagi setiap wartawan.

Kini, banyak media massa memuat tulisan para akademikus-intelektual. Gagasan-gagasan fakultatif dan rumit, lantaran diulas dalam bahasa populer, menjadi bacaan yang segar, enteng, dan mencerahkan. Sebaran komunikasi capaian-capaian ilmu pengetahuan pun menjadi semakin luas.

Publik Indonesia bisa menyaksikan sejumlah intelektual asing (Indonesianis) yang ketat tradisi akademiknya toh juga menghasilkan karya-karya berbahasa populer, semisal Ben Anderson atau dulu (mendiang) Herbert Feith dan Daniel Lev. Tulisan bergaya bahasa kaum jurnalis pada Civil Islam karya Robert Hefner atau kolom-kolom Bill Liddle di media massa Indonesia tidak menurunkan reputasi mereka sebagai peneliti serta akademikus andal.

Begitu juga kupasan topik-topik ekonomi di media massa yang bercitra rasa bahasa populer yang ditulis Chatib Basri, atau dulu Sri Mulyani dan Mubyarto (almarhum), sebagaimana tulisan Syafi’i Ma’arif, Frans Magnis Suseno (budaya), Dewi Fortuna Anwar, Bachtiar Effendi, atau Eep Saefulloh Fatah (politik). Di masa lalu, Amien Rais juga sering menulis opini di media massa. Bahkan intelektual yang aktif menulis di jurnal-jurnal akademik internasional semisal Taufik Abdullah pun sangat lihai dalam berbahasa populer saat beropini di media massa.

Tulisan berbahasa gaya jurnalis seolah menjadi ”jalan” bagi para intelektual-akademikus untuk tampil lebih populis atau agar pemikiran mereka bisa lebih komunikatif dengan segmen pembaca yang lebih luas.

Senin, 04 Januari 2010

jurnalis sastra

Penulisan jurnalistik: akronim, angka, kutipan, ejaan, kata asing, logika, kata sifat

INILAH kerikil yang sering mengganggu dalam penulisan jurnalistik.

1. Singkatan/Akronim

Jangan terlalu banyak singkatan dalam sebuah alinea. Untuk sebuah alinea pendek, usahakan tidak lebih dari tiga singkatan saja. Untuk sebuah alinea panjang, jumlah singkatan sampai lima masih diperkenankan, tergantung kebutuhan.

Perhatikan juga cara penulisan singkatan dalam teks:

Benar: Sigit Sutomo, 46 tahun, adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Pelangi.

Salah: Sigit Sutomo, 46 tahun, adalah anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dari Fraksi Pelangi.

Fungsi singkatan adalah untuk menghindari pengulangan sebuah nama atau entitas. Karena itu disebut dulu nama lengkap dari sebuah entitas yang dimaksudkan, baru diikuti oleh singkatannya dalam kurung. Sehingga untuk selanjutnya, jika mengacu pada nama itu, bisa digunakan singkatannya saja.

Selain itu, untuk variasi penulisan, jika DPR diulangi lebih dari dua kali dalam teks ini, cukup disebutkan sebagai Dewan. Pembaca tak akan keliru menafsirkan hal itu sebagai Dewan Kelurahan, Dewan Komisaris, Dewan Pengamat, atau Dewan-dewan lain karena di awal teks sudah disebutkan sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat”.

2. Angka

Salah satu hal yang membuat sebuah teks cepat membuat pusing pembaca adalah jika angka-angka bertaburan, bahkan berdempetan, dalam sebuah teks. Artikel-artikel ekonomi sering sulit menghindari hal ini.

Namun untuk artikel yang lebih umum, usahakan agar sesedikit mungkin ada deretan angka pada sebuah kalimat. Tebarlah pada beberapa kesempatan agar pembaca bisa “bernapas”.

Salah: Keris sepanjang 23 cm itu terdiri dari 9 luk, dibuat dari 250 gram besi yang dilebur 57 gram timah dengan sepuhan 5 gram emas, dibuat selama 27 hari oleh Empu Sendok yang dibantu 5 pembantunya setelah mereka berpuasa 8 minggu.

Bayangkan betapa sulitnya pembaca “menelan” artikel seperti ini.

3. Kutipan

Meski kutipan itu penting dalam memberikan “ruh” bagi sebuah tulisan, namun terlalu banyak kutipan dalam sebuah alinea juga membuat artikel tak nyaman dibaca. Jangan lupa, ini artikel jurnalistik, bukan sebuah prosa.

4. Kata-kata asing

Kata-kata asing yang berjejalan dalam sebuah naskah berbahasa Indonesia (dan karena itu harus ditulis
miring/italic) adalah bentuk kerikil yang lain. Seorang jurnalis harus berupaya sekuat tenaga mencari padanan kata bahasa Indonesia, ketimbang menggunakan mentah-mentah istilah itu, KECUALI, jika istilah itu DIUCAPKAN oleh narasumber, atau memang SANGAT SUSAH untuk ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.

5. Ejaan

Ejaan yang sudah baku dan diketahui umum, namun masih dituliskan secara salah oleh seorang penulis jurnalistik, juga menjadi kerikil yang mengurangi kenyamanan pembaca.

Contoh yang paling sering ditemukan adalah:

1. Silahkan (Salah), Silakan (Benar, tanpa “h”).
2. Dirubah (Salah), Diubah (Benar, kata dasarnya ‘ubah’, bukan
‘rubah’).
3. Merubah (Salah), Mengubah (Benar, lihat no. 2).
4. Analisa/menganalisa (Salah), Analisis/menganalisis (Benar).
5. Komoditi (Salah), Komoditas (Benar, lihat contoh lain yang berakar dari bahasa Inggris seperti ‘community’, ’solidarity’, ‘equity’).

6. Logika kalimat

Logika kalimat yang rancu menjadi kerikil selanjutnya yang mengurangi kenikmatan membaca.

Salah: Kesebelasan Indonesia dikalahkan tim Thailand 3-1.

Benar: Kesebelasan Indonesia dikalahkan tim Thailand 1-3. (Logikanya, karena kalah pasti mendapat nilai lebih kecil).

atau

Benar: Tim Thailand mengalahkan Indonesia 3-1.

Contoh lain.

Salah: Penjahat itu akhirnya berhasil ditangkap polisi. (Logikanya, kalau bisa ditangkap polisi, berarti penjahat itu tidak berhasil)

Benar: Polisi akhirnya berhasil menangkap Abu Somat, penjahat yang sudah menewaskan 11 orang.

7. Kata sifat

Berbeda dengan karya fiksi yang mengajak serta pembacanya untuk berimajinasi, dan karena itu tak terkungkung oleh pemakaian kata sifat, sebuah karya jurnalistik harus sejelas mungkin mengantarkan pembaca pada satu pengertian, bukan multitafsir.

Salah: Dalang pertunjukan boneka itu seorang lelaki bertubuh jangkung.

Benar: Dalang pertunjukkan boneka itu seorang lelaki dengan tinggi badan 173 cm.

(Perhatikan, “jangkung” atau “pendek” adalah sebuah konsep relatif tergantung dari sudut pandang. Untuk seorang pembaca yang bertinggi badan 160-165 cm, seseorang dengan tinggi 173 cm mungkin terlihat jangkung. Tapi bagi pembaca dengan tinggi badan 178 cm ke atas, kalimat pertama bisa menyesatkannya dan membawa pengertian bahwa dalang itu memiliki tinggi badan “lebih dari 180 cm”).

Begitu juga dengan contoh-contoh, “rumah itu kokoh (sebut saja, rumah itu berlantai dua)”, “Amelia seorang gadis cantik (cantik sebuah konsep relatif, sebut saja berkulit putih kah? sawo matang? kuning?).

NAMUN …

Sebuah perbandingan dengan sebuah benda lain atau manusia lain yang dikenal publik secara umum, membuat penggunaan kata sifat dalam sebuah artikel jurnalistik bisa semakin memperkuat maksud kalimat itu.

Misalnya: Rumah itu sekokoh Gedung Putih (White House).

Atau: Anda masih ingat aktris Mandarin, Gong Li? Nah, seperti itulah Amelia.

Minggu, 03 Januari 2010

Jurnalistik keragaman

JURNALISME MULTIKULTUR UNTUK
KERAGAMAN BANGSA INDONESIA
Sebagai bangsa yang telah menyatakan kemerdekaannya lebih dari 50 tahun yang
lalu, Indonesia menyadari potensi keragaman yang dimiliki lewat masyarakatnya yang terdiri
dari berbagai agama, etnis, budaya, dan lain-lain. Secara sederhana dapat disebut bahwa
bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk memiliki masyarakat yang multikultural, oleh
karena itu perlu usaha nyata untuk menjadikan multikulturalisme dan pluralisme sebagai
“alat” hidup bangsa Indonesia yang multikultural sekaligus plural tersebut.
Berawal dari potensi keragaman yang dimiliki Indonesia itulah muncul pemikiran
perlunya mengambangkan kesadaran kewarganegaraan yang baik (citizenship), bahkan lebih
jauh menjadi Inclusive Citizenship (Nasikun, 2007). Inclusive citizenship dapat dicapai jika
warga negara di dalamnya melakukan konsolidasi demokrasi, artinya tidak hanya
menciptakan pemerintahan oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil
yang dipilih, namun menciptakan masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia secara
sama, menghargai kebebasan dan mendukung toleransi, khususnya terhadap pandanganpandangan
kelompok minoritas. Dalam masyarakat yang bergerak kearah masyarakat
informasi, sebagaimana dilukiskan dengan sangat baik oleh Alvin Tovler, media memberi
peranan penting untuk membentuk dan mendidik masyarakat berperilaku sesuai dengan yang
diinginkan (Agenda Setting). Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk jurnalisme baru yang
mampu membantu masyarakat mencapai keadaan sebagaimana dicita-citakan oleh Inclusive
citizenship.
Belajar dari masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat sebagai tempat munculnya
konsep demokrasi modern, jurnalisme dihadirkan sebagai suatu alat atau cara untuk
membangun kesadaran kewarganegaraan (citizenzship). Jurnalisme ada untuk memenuhi hakhak
warga negara, jurnalisme ada untuk memenuhi demokrasi (Kovach, 2003). Dalam
konteks ini media massa merupakan salah satu pilar jurnalisme itu sendiri. Ia harus menjadi
wadah perbedaan pendapat yang sehat, tidak bertendensi memojokkan kelompok
berseberangan dengan dirinya, untuk itulah pemikiran baru mengenai Jurnalisme
dimunculkan yakni Jurnalisme Multikultur.
Jurnalisme multikultur secara esensial tidak jauh berbeda dari pemahaman jurnalisme
itu sendiri, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan konsep jurnalisme multikultur juga
masih mengacu pada pengertian jurnalisme sebagai alat untuk melakukan konstruksi atas
realitas, dimana konsturksi tersebut dituangkan dalam media informasi berupa televisi, surat
kabar, majalah, internet, dan lain sebagainya. Perbedaannya adalah jurnalisme multikultur
memiliki perspektif multikulturalisme dan pluralisme yang digunakan untuk melihat realitas
yang akan dikonstruksi dan kemudian diolah menjadi berita. Perspektif multikulturalisme dan
pluralisme yang dikembangkan oleh paham jurnalisme baru ini adalah perspektif struktural
dalam bingkai agama, etnis, kelompok, dan golongan. Bingkai-bingkai tersebut menjadi
perhatian utama oleh jurnalisme multikultur, khususnya struktur yang dibangun oleh agama,
etnis, kelompok, dan golongan tersebut demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
Lewat jurnalisme multikultur ini kita menemukan peluang keragaman yang luar biasa
luas. Jurnalisme multikultur memungkinkan kita mengolah keragaman yang dimiliki (dalam
hal ini bangsa Indonesia) sebagai sebuah kekuatan untuk mewujudkan inclusive citizenship,
dimana tercapai suatu masyarakat yang makmur dan sejahtera yang dilandasi oleh
konsolidasi demokrasi yang kuat. Selain itu, jurnalisme multikultur mampu mengembangkan
kehidupan yang lebih beradab melalui penghormatan, pengertian, toleransi, dan pemahaman
terhadap perbedaan pada tiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.