Powered By Blogger

Rabu, 13 Januari 2010

Cerminan Diri

“Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Mengajak tanah.
Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Menagjak Air.
Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Mengajak Musim.
Engkau Menanam Pohon, Tapi tak Mengajak Pohon.
Engkau Hanya Menanam, Dirimu Sendiri”
(Mustofa W. Hasyim)

Pekerjaan yang paling digemari oleh bangsa Indonesia saat ini adalah berbicara, sekaligus yang tidak suka dilakukan adalah bercermin. Setiap orang boleh setuju dan boleh juga tidak setuju dengan pernyataan itu. Namun, saya memiliki argumentasi yang, paling tidak dapat kita diskusikan sebagai bahan intropeksi diri.
Bercermin punya makan jamak tidak tunggal. Secara fisik, berarti membuat orang ”tahu rupa diri” apakah dia bersih atau kotor, sudah rapi atau masih kusut, apakah tampilannya sudah oke atau belum. Pendek kata, dengan bercermin, seseorang akan tampak tampan, anggun, kelihatan elok rupawan.
Namun, bercermin juga punya arti maknawi, yang jauh lebih dalam dari sekedar tahu rupa diri. Dalam pemahaman ini, bercermin membuat orang ”tahu diri” baik secara fisik maupun nonfisik. Seperti ungkapan orang Sumbawa ”to diri” tahu diri sangat bermakna dalam. Orang Jawa bilang ”kulo niki sinten” saya ini siapa. Dan, inilah sesungguhnya yang sulit dilakukan oleh tiap manusia, masyarakat, maupun pribadi yanitu menjadi orang yang tahu diri.
Dalam wilayah demokrasi, kita kerap tak butuh pemimpin besar, melainkan cukup orang tahu diri. Jangan heran ketika Nelson Mandela berhenti menjadi presiden ketika punya pesaing berarti. Ia tahu diri, mengakhiri kekuasaan yang bisa dibikin panjang, bahkan mungkin sampai ajalnya, tapi ia tunduk pada kepentingan yang lebih besar, mengembangkan demokrasi di Afrika Selatan.
Atau banyak deretan kisah lain yang menjadi teladan demokrasi. Richard Nixon tahu diri, ia mundur sebelum di-impeach kongres AS karena skandal Water Gate yang memalukan. Atas nama demokrasi, Corry Aquino merasa cukup menjadi presiden Filipina satu periode jabatan. Ia bahkan aktif memasukan satu periode jabatan presiden dalam konstitusi negaranya. Contoh lain Mahathir Muhammad, tokohnya pembaharu Malaysia, berhenti diujung senja jabatannya sebagai perdana menteri Malaysia, karena ia tahu diri. Hal serupa juga dilakukan oleh Lee Kwen Yew dari Singapura, negeri tetangga kita.
Di Indonesia, teramat langkanya, orang-orang tahu diri kerap membuat kita terharu. Begitulah Mohammad Hatta, kembali memory kita terulang dimasa nan silam dengan takzim ketika mundur dan mengakhiri dwitunggal Soekarno-Hatta, yang mengrogoti penyakit keserakahan Soekarno. Prof. Harun Al, Rasyid membuat kita lega ketika berhenti dari wakil Ketua KPU di saat banyak koleganya disana terlelap dan ter-ninabobo-kan oleh kubangan lumpur korupsi.
Dan, Soeharto gagal menjadi orang besar, antara lain karena ia tak tahu diri. Ia diakui dunia sebagai politisi piawai yang pandai membuat kekuasaannya bernafas panjang, tetapi terjerambah di penghujung masa jabatannya. Karena ia tak tahu diri, ia salah Kalkulasi kapan seharusnya berhenti.
Lalu, siapakah orang-orang yang tahu diri itu? Buat saya adalah mereka yang ”punya cermin” dan ”bisa bercermin”. Ia pun bisa menakar kapasitas dan otentitas dirinya. Neraca cermin inilah yang dijadikan bingkai dalam tiap perangai dan lakunya. Orang tahu diri, sangat memahami bahwa seorang besar bukan karena berkuasa tetapi karena bisa membuat kekuasaan sebagai perkara kecil dan biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar