Powered By Blogger

Senin, 04 Januari 2010

jurnalis sastra

Penulisan jurnalistik: akronim, angka, kutipan, ejaan, kata asing, logika, kata sifat

INILAH kerikil yang sering mengganggu dalam penulisan jurnalistik.

1. Singkatan/Akronim

Jangan terlalu banyak singkatan dalam sebuah alinea. Untuk sebuah alinea pendek, usahakan tidak lebih dari tiga singkatan saja. Untuk sebuah alinea panjang, jumlah singkatan sampai lima masih diperkenankan, tergantung kebutuhan.

Perhatikan juga cara penulisan singkatan dalam teks:

Benar: Sigit Sutomo, 46 tahun, adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Pelangi.

Salah: Sigit Sutomo, 46 tahun, adalah anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dari Fraksi Pelangi.

Fungsi singkatan adalah untuk menghindari pengulangan sebuah nama atau entitas. Karena itu disebut dulu nama lengkap dari sebuah entitas yang dimaksudkan, baru diikuti oleh singkatannya dalam kurung. Sehingga untuk selanjutnya, jika mengacu pada nama itu, bisa digunakan singkatannya saja.

Selain itu, untuk variasi penulisan, jika DPR diulangi lebih dari dua kali dalam teks ini, cukup disebutkan sebagai Dewan. Pembaca tak akan keliru menafsirkan hal itu sebagai Dewan Kelurahan, Dewan Komisaris, Dewan Pengamat, atau Dewan-dewan lain karena di awal teks sudah disebutkan sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat”.

2. Angka

Salah satu hal yang membuat sebuah teks cepat membuat pusing pembaca adalah jika angka-angka bertaburan, bahkan berdempetan, dalam sebuah teks. Artikel-artikel ekonomi sering sulit menghindari hal ini.

Namun untuk artikel yang lebih umum, usahakan agar sesedikit mungkin ada deretan angka pada sebuah kalimat. Tebarlah pada beberapa kesempatan agar pembaca bisa “bernapas”.

Salah: Keris sepanjang 23 cm itu terdiri dari 9 luk, dibuat dari 250 gram besi yang dilebur 57 gram timah dengan sepuhan 5 gram emas, dibuat selama 27 hari oleh Empu Sendok yang dibantu 5 pembantunya setelah mereka berpuasa 8 minggu.

Bayangkan betapa sulitnya pembaca “menelan” artikel seperti ini.

3. Kutipan

Meski kutipan itu penting dalam memberikan “ruh” bagi sebuah tulisan, namun terlalu banyak kutipan dalam sebuah alinea juga membuat artikel tak nyaman dibaca. Jangan lupa, ini artikel jurnalistik, bukan sebuah prosa.

4. Kata-kata asing

Kata-kata asing yang berjejalan dalam sebuah naskah berbahasa Indonesia (dan karena itu harus ditulis
miring/italic) adalah bentuk kerikil yang lain. Seorang jurnalis harus berupaya sekuat tenaga mencari padanan kata bahasa Indonesia, ketimbang menggunakan mentah-mentah istilah itu, KECUALI, jika istilah itu DIUCAPKAN oleh narasumber, atau memang SANGAT SUSAH untuk ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.

5. Ejaan

Ejaan yang sudah baku dan diketahui umum, namun masih dituliskan secara salah oleh seorang penulis jurnalistik, juga menjadi kerikil yang mengurangi kenyamanan pembaca.

Contoh yang paling sering ditemukan adalah:

1. Silahkan (Salah), Silakan (Benar, tanpa “h”).
2. Dirubah (Salah), Diubah (Benar, kata dasarnya ‘ubah’, bukan
‘rubah’).
3. Merubah (Salah), Mengubah (Benar, lihat no. 2).
4. Analisa/menganalisa (Salah), Analisis/menganalisis (Benar).
5. Komoditi (Salah), Komoditas (Benar, lihat contoh lain yang berakar dari bahasa Inggris seperti ‘community’, ’solidarity’, ‘equity’).

6. Logika kalimat

Logika kalimat yang rancu menjadi kerikil selanjutnya yang mengurangi kenikmatan membaca.

Salah: Kesebelasan Indonesia dikalahkan tim Thailand 3-1.

Benar: Kesebelasan Indonesia dikalahkan tim Thailand 1-3. (Logikanya, karena kalah pasti mendapat nilai lebih kecil).

atau

Benar: Tim Thailand mengalahkan Indonesia 3-1.

Contoh lain.

Salah: Penjahat itu akhirnya berhasil ditangkap polisi. (Logikanya, kalau bisa ditangkap polisi, berarti penjahat itu tidak berhasil)

Benar: Polisi akhirnya berhasil menangkap Abu Somat, penjahat yang sudah menewaskan 11 orang.

7. Kata sifat

Berbeda dengan karya fiksi yang mengajak serta pembacanya untuk berimajinasi, dan karena itu tak terkungkung oleh pemakaian kata sifat, sebuah karya jurnalistik harus sejelas mungkin mengantarkan pembaca pada satu pengertian, bukan multitafsir.

Salah: Dalang pertunjukan boneka itu seorang lelaki bertubuh jangkung.

Benar: Dalang pertunjukkan boneka itu seorang lelaki dengan tinggi badan 173 cm.

(Perhatikan, “jangkung” atau “pendek” adalah sebuah konsep relatif tergantung dari sudut pandang. Untuk seorang pembaca yang bertinggi badan 160-165 cm, seseorang dengan tinggi 173 cm mungkin terlihat jangkung. Tapi bagi pembaca dengan tinggi badan 178 cm ke atas, kalimat pertama bisa menyesatkannya dan membawa pengertian bahwa dalang itu memiliki tinggi badan “lebih dari 180 cm”).

Begitu juga dengan contoh-contoh, “rumah itu kokoh (sebut saja, rumah itu berlantai dua)”, “Amelia seorang gadis cantik (cantik sebuah konsep relatif, sebut saja berkulit putih kah? sawo matang? kuning?).

NAMUN …

Sebuah perbandingan dengan sebuah benda lain atau manusia lain yang dikenal publik secara umum, membuat penggunaan kata sifat dalam sebuah artikel jurnalistik bisa semakin memperkuat maksud kalimat itu.

Misalnya: Rumah itu sekokoh Gedung Putih (White House).

Atau: Anda masih ingat aktris Mandarin, Gong Li? Nah, seperti itulah Amelia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar